Likuiditas Ketat Bisa Memicu Krisis Perbankan Meluas samueldim May 4, 2023

Likuiditas Ketat Bisa Memicu Krisis Perbankan Meluas

JAKARTA – Dalam salah satu kesimpulan pembahasan pada Spring Meeting IMF-World Bank 2023 di Washington, AS, pekan lalu, menyebutkan kalau krisis perbankan yang melanda AS dan Eropa harus tetap diwaspadai sebagai tantangan jangka menengah-panjang dalam perekonomian global.

Pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, yang diminta pendapatnya mengatakan krisis perbankan global saat ini memang masalah eksternal, tetapi pemerintah harus tetap menyiapkan berbagai skenario kebijakan di internal sebagai bentuk antisipasi.

“Saat ini sepertinya tidak ada yang tidak mungkin, hampir semua sektor, atau bidang bersinggungan dengan perbankan. Mencermati situasi yang demikian tentu semua pelaku usaha harus terus memantau perkembangan industri perbankan, utamanya terkait krisis saat ini,” kata Bambang.

Krisis perbankan, jelasnya, masih terjadi meskipun dampaknya ke berbagai negara berbeda, sehingga memerlukan treatment yang berbeda pula. Maka dari itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia bukan sekadar menunggu dan melihat perkembangan krisis itu, tetapi harus menyiapkan beberapa alternatif solusi ekonomi moneter dan kajian dampaknya,” katanya.

Dalam pertemuan IMF-Bank Dunia menyatakan kalau masalah ekonomi global saat ini adalah inflasi yang tinggi, diikuti kenaikan suku bunga sehingga terjadi pengetatan likuiditas dan pada akhirnya berdampak pada sektor keuangan, terutama perbankan.

Pakar ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, yang dihubungi terpisah, mengatakan menghadapi tantangan eksternal saat ini maka pemerintah dan rakyat harus berhemat dengan menurunkan konsumsi agar simpanan meningkat.

Pemerintah, katanya, harus fokus pada perputaran uang di dalam negeri milik sendiri agar bisa mengelola modal tersebut dengan baik. “Jangan sampai modal milik orang Indonesia lari ke luar negeri, karena modal asing tidak dapat dikendalikan keluar-masuknya,” kata Eugenia.

Kuncinya, jelas Eugenia, ada di sektor keuangan dalam negeri. Kalau modalnya cukup dan kuat untuk memproduksi kebutuhan masyarakat, Indonesia tidak membutuhkan campur tangan asing dalam mengelola ekonomi.

Sebab itu, dalam menghadapi dampak negatif dari runtuhnya sektor keuangan di AS dan Eropa, pemerintah harus menghitung dengan cermat berapa modal dalam negeri yang dapat dikelola.

Kurangi Risiko

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan di saat kekhawatiran atas dampak krisis perbankan di Eropa dan AS belum mereda, ada harapan dari Tiongkok menyusul laporan pertumbuhan positif di sana. Namun yang terpenting, pemerintah harus terus memperkuat ekonomi domestik yang potensial seperti industri pariwisata yang bisa mengurangi risiko yang ditimbulkan ketidakstabilan ekonomi global.

“Pemerintah juga dapat meningkatkan pengawasan terhadap sektor perbankan dalam negeri untuk mengantisipasi kemungkinan dampak yang mungkin terjadi dari krisis perbankan di luar negeri. Hal ini dapat dilakukan melalui penguatan kebijakan dan regulasi perbankan, serta peningkatan kapasitas dan kualitas pengawasan otoritas terkait,” kata Aditya.

Dengan menempuh langkah-langkah tersebut, menurut Aditya, Indonesia diharapkan lebih siap menghadapi dampak dari ketidakstabilan ekonomi global dan mengurangi risiko yang mungkin terjadi pada sektor perbankan dan ekonomi secara keseluruhan.

Dalam konteks inflasi, meskipun kebijakan moneter dapat membantu mengendalikan inflasi, namun tingkat inflasi yang masih cukup tinggi pada negara berkembang, negara maju, dan secara keseluruhan global, menurut Aditya, masih menunjukkan bahwa masih ada permasalahan struktural dalam perekonomian dunia.

Selain itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang rendah pada tahun 2023 juga mengindikasikan bahwa permasalahan ekonomi global masih terus berlanjut.

“Oleh karena itu, perlu upaya yang lebih holistik dan terpadu dalam menangani permasalahan ekonomi global, yang tidak hanya berfokus pada kebijakan moneter, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti perbaikan struktural dan kebijakan fiskal yang tepat,” jelas Aditya.

Sumber: koran-jakarta.com (4273)