Toxic Masculinity: Apa itu? samueldim December 21, 2022

Toxic Masculinity: Apa itu?

by Warta Ubaya (@wartaubaya)

Kepribadian manusia terbentuk melalui berbagai faktor, baik eksternal maupun internal. Dalam hal ini, pola pengasuhan orang tua, lingkungan, dan kognitif anak merupakan faktor-faktor yang mendominasi pembentukan kepribadian seseorang. Berbicara mengenai pola pengasuhan, tak jarang kita temui bahwa terdapat keluarga yang cenderung menuntut dan melarang anak mereka, terutama laki-laki untuk menunjukkan emosi sedih atau tidak berdaya. Tidak hanya itu, laki-laki juga dituntut menjadi pribadi yang memiliki sikap mendominasi, memimpin, dan tegas.

Meneliti kecenderungan perilaku tersebut, Shepherd Bliss, psikolog asal California akhirnya menggagaskan istilah toxic masculinity pada tahun 1980-an. Bliss mengungkapkan bahwa toxic masculinity adalah deskriptif sempit yang mampu membedakan nilai positif dan negatif terhadap maskulinitasatau kejantanan. Maskulinitas sendiri merupakan ekspresi gender yang dilihat sebagai atribut, perilaku, dan peran yang terkait dengan laki-laki. Berbagai hal yang terlihat tersebut dibentuk oleh proses sosial budaya dan bervariasi karena kerap diperdebatkan, diekspresikan, serta ditafsirkan dengan cara yang berbeda.

Mengulas lebih dalam, rupanya toxic masculinity berawal dari faktor lingkungan yang dipengaruhi oleh budaya patriarki. Budaya ini mendorong khalayak masyarakat untuk menuntut kaum laki-laki dengan berbagaistandar kepribadian maskulin. Tak hanya itu, budaya patriarki punturut mendorong pola pengasuhan otoriter orang tua terhadap anak laki-laki mereka. Di samping memberikan dukungan, kehangatan, dan hal lainnya dalam hidup anak, orang tua juga menuntut anak untuk mengikuti keinginan maupun aturan tanpa menjelaskan alasan hal tersebut perlu dilakukan. Berkenaan dengan pola asuh otoriter, anak laki-laki tumbuh dan besar dengan banyak tekanan dari orang tua yang menuntut mereka untuk menjadi pribadi maskulin. Padahal, mungkin saja sebagian dari mereka memiliki kepribadianyang bertolak belakang dari tuntutan kedua orang tua. Contohnya, memiliki kecenderungan untuk mengikuti daripada memimpin atau mendominasi.

Terbentuknya karakter yang kurang sesuai dengan diri para laki-laki tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi emosi mereka. Salah satunya yakni membuat mereka cenderungmenahan emosi, terutama kesedihan. Padahal, penting untuk diingat bahwa menangis tidak menjadikan seseorang terlihat lemah, melainkansalah satu cara mengekspresikan atau melepaskan perasaan yang tidak tertahankan, seperti: kedukaan, kekecewaan, atau kehilangan halberharga. Apabila perasaan-perasaan tidak tertahankan seperti kesedihan inigagal dilepaskan, laki-laki menjadi rentan untuk mengalami depresi. Hal ini mengakibatkan beberapa laki-laki memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena merasa tidak kuat akan tuntutan dari lingkungan sekitar. Buktinya, penelitian Global Regional and National Life Expectancy pada tahun 2015 menyatakan bahwa dua dari tiga kasus bunuh diri dialami oleh laki-laki.

Berdasarkan tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa toxic masculinity merupakan ukuran sempit yang membangun tuntutan bagi laki-laki agar memiliki karakter-karakter tertentu. Tak jarang tuntutan tersebut sering kali membebani diri mereka sehingga berdampak negatif terhadap pengelolaanemosi. Hal ini dapatdilihat dari cara laki-laki yang cenderung menutup diri guna bertahan dari tuntutan lingkungan sekitar. Apabila dibiarkan begitu saja, tentu hal ini mengarahkan laki-laki pada depresi bahkan bunuh diri. Oleh karenaitu, penting bagi kita untuk menurunkan tuntutan kepada laki-laki dengan membangkitkan perasaan mengerti dan menerima akan hal yang mereka rasakan serta ekspresikan. (mon, et)