Lindungi Anak dari Kekerasan Seksual, Perlu Sinergi Bersama samueldim July 19, 2022

Lindungi Anak dari Kekerasan Seksual, Perlu Sinergi Bersama

Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan Universitas Surabaya (Pusdakota Ubaya) dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Ubaya kembali hadir dengan rangkaian seminar dari acara “Gebyar Hari Anak Nasional 2022”. Mengangkat tema “Melindungi Anak dari Kekerasan Seksual”, seminar tersebut diadakan pada 12 Juli 2022 lalu secara luring di Pendopo Pusdakota Ubaya. Acara ini sendiri bertujuan untuk menyosialisasikan kepada warga sekitar terkait tindakan pencegahan serta penanganan yang tepat agar anak terhindar dari kekerasan seksual. Maka dari itu, Pusdakota Ubaya dan Pusham Ubaya memfasilitasi seminar ini dengan pembicara yang ahli di bidangnya, yaitu Siti Yunia Mazdafiah, S.S., MWS., sebagai Dosen Fakultas Psikologi Ubaya serta aktivis dari Savy Amira Women’s Crisis Center (WCC). Puluhan penonton yang terdiri dari ibu rumah tangga dengan domisili sekitar Ubaya terlihat sangat antusias mengikuti acara ini.

“Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang dikategorikan dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) No. 12 Tahun 2022, masih baru berlaku sejak 7 Mei kemarin,” ungkap Siti membuka sesi seminar kali ini. Menurutnya, kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja dan di dalamnya akan terdapat ketimpangan kuasa. “Apabila si pelaku merasa lebih superior, maka akan muncul perasaan ‘boleh’ untuk memperlakukan orang lain sesuka hati,” jelas Siti. Hal ini tentunya akan sangat merugikan pihak inferior, terutama pada anak yang dampaknya akan berlangsung jangka panjang. Oleh karena itu, sangat diperlukan penanganan sedini mungkin, terutama apabila anak sudah menampakkan ciri mengalami kekerasan seksual.

Lebih lanjut, Siti sendiri membagi ciri anak mengalami kekerasan seksual menjadi lima bagian. Pertama, anak menirukan perilaku seksual orang dewasa yang tidak pantas. Ciri yang kedua yaitu, terdapat perubahan sikap yang mencolok. “Misalnya saja menjadi pendiam dan murung, ataupun sikap berlawanan lainnya,” jelas Siti. Biasanya hal ini diikuti dengan ciri ketiga, yakni mengunci diri di kamar bersama gawai dan tidak tertarik untuk keluar rumah serta bersosialisasi. “Tak jarang, apabila dampak yang diberikan cukup besar pada psikis korban, maka akan muncul ciri keempat yaitu mimpi buruk, mengompol, trauma terhadap orang, tempat atau benda tertentu,” tuturnya. Selanjutnya, ciri yang terakhir dan terburuk adalah melukai diri sendiri serta memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup.

Setelah mengidentifikasi ciri-ciri yang muncul, Siti juga menjelaskan terkait hal yang perlu dilakukan apabila mengalami kekerasan seksual. “Langkah yang pertama dan utama adalah bercerita kepada orang lain yang dipercayai, bisa orang tua ataupun guru,” ungkap Siti. Selanjutnya, apabila kekerasan seksual terjadi dalam bentuk pemerkosaan, maka tidak perlu membersihkan diri dan langsung ke rumah sakit untuk melakukan visum. Hal serupa juga berlaku untuk tindak pelecehan seksual online, korban tidak perlu menghapuskan bukti. “Dengan demikian, akan ada bukti yang jelas untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami,” jelasnya. Tak berhenti disana, korban dapat melapor ke pihak berwenang ataupun mencari lembaga peduli kekerasan seksual misalnya Savy Amira untuk mendapatkan dukungan fisik dan mental yang diperlukan dan melakukan pemulihan psikis. “Perlu ditekankan kekerasan seksual bukanlah salah korban, oleh karena itu tidak perlu merasa jijik ataupun malu untuk melaporkan ke pihak berwenang,” tegas Siti.

Bagai peribahasa, lebih baik mencegah daripada mengobati, begitu pula dengan tindak kekerasan seksual. Siti juga menjelaskan berbagai cara mencegah kekerasan seksual mulai dari lingkup keluarga hingga masyarakat. “Pada lingkup keluarga, mulailah dengan mengajarkan kepada anak untuk saling menghargai, serta mengenalkan anggota mana yang boleh disentuh orang lain dan tidak,” jelas Siti. Ia juga mengajak para orang tua untuk membangun komunikasi yang efektif, intens, dan terbuka dengan anak, termasuk dalam topik seksualitas. Selain itu, hendaknya orang tua dan lembaga pendidikan yang ada turut mendorong aturan turunan terhadap Permendikbud no 82 tahun 2015 sebagai UU Anti Kekerasan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual. “Tak hanya demikian, hendaknya baik orang tua maupun anak mengikuti berbagai sosialisasi serta berbagi informasi kekerasan seksual dan pencegahannya seperti seminar ini,” tutup Siti. (pmt, et)