Forest Therapy: Sarana Pemulihan Psikologis dari Alam Bagi Penyintas Bencana samueldim February 21, 2022

Forest Therapy: Sarana Pemulihan Psikologis dari Alam Bagi Penyintas Bencana

Ketidaknyamanan psikologis kerap dialami oleh penyintas bencana, terutama bencana alam. Menyikapi hal tersebut, Kelompok Studi Psikologi Bencana (KSPB) Fakultas Psikologi Universitas Surabaya mengadakan kegiatan forest therapy pada Minggu, 13 Februari 2022. Aktivitas ini dilakukan di desa pengungsian lereng Merapi, tepatnya di Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Forest therapymerupakan aktivitas berinteraksi dengan alam yang memiliki kualitas penyembuhan secara fisik dan psikologis. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan efek terapeutik serta kesehatan dan kesejahteraan psikologis pada penyintas bencana melalui keterhubungannya dengan alam. “Forest therapy dipilih KSPB sebagai salah satu bentuk pendampingan psikologis bagi penyintas bencana karena mereka mengalami krisis yang dapat dikategorikan sebagai environmental crisis,” jelas Listyo Yuwanto, S.Psi., M.Psi. selaku Koordinator KSPB Fakultas Psikologi Ubaya. Krisis ini menyebabkan gangguan fungsi berpikir, emosi, dan perilaku bagi orang yang mengalaminya.

Kegiatan forest therapy yang dilakukan, antara lain berjalan menapaki jalan tanpa alas kaki di antara pepohonan, merasakan sensasi suara dan bebauan alam, memeluk pohon, dan aktivitas nuansa alamiah lainnya. Di malam hari, penyintas bencana melakukan interaksi diri dengan benda astronomi, seperti komet, bintang, bulan, dan nuansa malam hutan.Perlakuan ini merujuk pada filosofi forest therapy yang mengaitkan manusia dengan alam. “Manusia adalah bagian dari alam, tidak terpisah dari alam, dan terkait dengan semua komponen yang ada di alam,” tutur Listyo.

Forest therapyjuga dibekali dengan penyelarasan berpikir bagi penyintas yang memiliki permasalahan psikologis akut. Penyelarasan tersebut seperti menyadari pengaruh pikiran terhadap emosi dan perilaku, merubah pikiran negatif menjadi lebih positif, serta keterampilan memecahkan masalah.Kegiatan ini juga memberikan beragam manfaat kesehatan, terutama dalam sistem kardiovaskular dan kekebalan. Selain itu, melakukan forest therapy juga membantu menstabilkan dan meningkatkan suasana hati dan kognisi.

Dampak dari aktivitas ini adalah para penyintas bencana dapat memiliki kondisi psikologis yang nyaman dan berperilaku lebih adaptif pasca bencana. Listyo berharap, kegiatan forest therapy dapat dimanfaatkan untuk pendampingan psikologis lainnya. “Forest therapy tidak terbatas pada penyintas bencana, tetapi juga dapat dikembangkan berdasarkan kajian riset dan kemanfaatan praktis, serta sarana konservasi lingkungan,” ujarnya. (el)