Lawan Kekerasan Seksual dengan Edukasi samueldim January 25, 2022

Lawan Kekerasan Seksual dengan Edukasi

Pusat Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham Ubaya) telah mengadakan webinar bertemakan “Menuju Kampus Bebas Kekerasan Seksual” pada 21 Desember lalu. Topik yang diangkat pada acara ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) 30/2021 yang akan berlaku di seluruh Indonesia. Webinar bertujuan untuk mengedukasi peserta terkait kekerasan seksual serta cara mencegah dan menghadapinya. Pusham Ubaya mengundang tiga pembicara yang memiliki peran tersendiri dalam menjelaskan topik tersebut, yaitu Dr. Khaerul Umam Noer sebagai Penyusun Naskah Akademik Permendikbud Ristek 30/2021, Dr. Dra. N.K. Endah Triwijati, M.A., sebagai Dosen Fakultas Psikologi Ubaya, dan Dr. Hwian Christianto, SH., M.H. sebagai Dosen Fakultas Hukum Ubaya. Sekitar 121 peserta dari berbagai instansi mengikuti webinar ini melalui aplikasi Zoom.

Hwian Christianto membuka salah satu materi dengan menjelaskan urgensi edukasi kekerasan seksual melihat maraknya kasus yang justru terjadi di lembaga pendidikan. “Menurut Pasal 1 Angka 1 Permendikbud 30/2021, kekerasan seksual adalah perbuatan merendahkan, mengina, melecehkan, menyerang tubuh dan/atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa,” kutip Hwian. Ia menjelaskan berbagai dampak buruk permasalahan ini bagi korban, seperti: penderitaan secara fisik, psikis, seksual, serta kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Ia juga menjelaskan bahwa ironisnya kekerasan seksual terjadi tanpa pandang bulu, tempat, maupun waktu.

Menurut Hwian, secara kriminologis ada tiga hal yang dapat diperhatikan dari pelaku kekerasan seksual, yaitu pelaku merasa superior, mendapatkan dukungan, atau pengakuan maupun kesempatan, dan yang terakhir korban bersifat pasif. “Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian pada kasus sebelumnya. Pelaku menganggap korban ‘diam’ berarti ia setuju, bahkan senang terhadap perlakuan yang diterima,” jelasnya. Menurutnya secara pemahaman korban hanya dianggap sebagai objek seks dan hal ini merupakan suatu kesalahan. “Situasi tersebut menjadi dasar penyebab kekerasan seksual yang dapat dibagi menjadi tiga faktor utama, yaitu sosial, budaya, dan struktural,” tutur Hwian.

Lebih lanjut terkait penyebab, Hwian menjelaskan bahwa nyatanya hal ini terjadi secara universal tak terkecuali di daerah universitas. “Pandangan sosial yang terlalu positif terkait dosen, tenaga pendidikan, dan mahasiswa menyebabkan terciptanya harapan serta kepercayaan yang tinggi dari masyarakat,” jelasnya. Selain itu, ia juga menjelaskan budaya patriarki yang juga memiliki dampak tersendiri. Hal ini mengacu pada tuntutan mahasiswa untuk tunduk terhadap dosennya, terutama yang berjenis kelamin pria. Akhirnya terciptalah aspek struktural, yang melahirkan kekuasaan bagi pelaku untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. “Posisi positif yang dimiliki serta kekuasaan yang diberikan dapat menciptakan peluang tersendiri untuk melakukan tindakan tersebut, dengan iming-iming ataupun ancaman,” ungkapnya.

Materi yang sangat detail menuai berbagai pertanyaan dari para peserta, salah satunya Veronika Dewinda N. “Kapankah korban dapat melaporkan pelaku kepada pihak fakultas atau tenaga hukum?” tanyanya. Menurut Hwian korban dapat melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila ia sudah siap dan yakin atas pernyataannya. “Keberanian untuk melaporkan menjadi hal pertama dan utama untuk dilakukan,” tutur Hwian. Pelaporan dapat ditujukan pada Satuan Tugas (Satgas), Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa (PSDM BEM) Ubaya, bahkan kepada Wakil Rektor Ubaya, Ibu Christina Avanti. Setelah itu, laporan tersebut akan ditindaklanjuti serta bukti-bukti dan saksi akan dikumpulkan. Ia juga menambahkan bahwa seluruh informasi yang diterima bersifat rahasia dan tertutup. Dengan demikian, Ubaya melihat kekerasan seksual selaku hal yang harus diatasi. ‘Hal ini sesuai dengan core values yang dimiliki yaitu kebangsaan dan humanisme, pendidikan yang terus berkembang dengan kritis, berani menyampaikan serta melaporkan kasus, juga pluralisme atau kesetaraan gender,” tutup Hwian. (RE1,et)