Bukan Cuma Uang : Aset Digital dari Kacamata Akuntansi samueldim December 9, 2021

Bukan Cuma Uang : Aset Digital dari Kacamata Akuntansi

Pada 29 November 2021 lalu, Jurusan Akuntansi Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya (FBE Ubaya) kembali mengadakan Hybrid Webinar Series : Bukan Cuma Uang. Webinar ini hadir dengan mengangkat topik “Akuntansi dan Aset Digital”. Bertujuan untuk mengedukasi masyarakat terkait aset digital terkhususnya cryptocurrency, webinar ini diadakan melalui live youtube dengan partisipan mencapai 1.100 penonton. Pada kesempatan kali ini, Jurusan Akuntansi menghadirkan Ersa Tri Wahyuni, Ph.D. yang berprofesi sebagai Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (SAK IAI) sekaligus Dosen dari Universitas Padjadjaran.

Ersa membuka sesi dengan menjelaskan aset digital di kehidupan riil. “Aset digital adalah suatu aktiva atau benda yang kepemilikannya tercatat secara digital serta dapat dimiliki dan dikuasai oleh badan hukum atau perorangan,” ungkapnya. Ersa sendiri menggambarkan aset digital sebagai bentuk perkembangan dari konsep aset dunia riil beralih menuju dunia cyber. Menurutnya, salah satu jenis aset digital yang paling kontroversial dan menarik minat masyarakat adalah mata uang kripto dengan berbagai jenis seperti bitcoin, ethereum, binance coin, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan sampai saat ini kapitalisasi market yang dimiliki telah berkembang hingga dua kali lipat dalam jangka waktu setahun terakhir.

Lebih lanjut tentang mata uang kripto, Ersa juga mengungkapkan beberapa alasan masyarakat memilih untuk menggunakannya. “Kelebihan pertama dari cryptocurrency adalah cepat dan murah,” tutur Ersa. Berdasarkan pengalamannya, transfer ke luar negeri melalui bank menarik biaya tambahan. Hal ini berbeda dengan transaksi mata uang kripto bersifat instant dan dapat dikonfirmasi dalam sepuluh menit secara gratis. Ia juga menambahkan bahwa mata uang ini tidak bisa dibekukan atau disesuaikan.

Selain kelebihan, Ersa juga menjelaskan tentang kekurangan dari mata uang kripto. Menurutnya, cryptocurrency sebagai mata uang digital memiliki kemungkinan untuk dibajak dan penggunaannya pun masih belum terlalu umum. Sedangkan permasalahan akuntansi dari cryptocurrency adalah tidak cukup standar untuk menampung dari mata uang ini. “Penggolongan cryptocurrency masih menuai banyak kontroversi dimana mata uang ini bisa diidentifikasikan sebagai inventory, intangible asset, maupun cash,” tutur Ersa.

Ersa sendiri mencermati permasalahan ini dari berbagai sisi. Menurutnya, apabila dilihat melalui kacamata International Financial Reporting Standards (IFRS), cryptocurrency tidak termasuk dalam cash. Hal ini dikarenakan mata uang ini belum menjadi alat tukar yang umum, sehingga sulit dianggap sebagai instrumen keuangan. Selain itu, cryptocurrency juga dapat dinyatakan sebagai aset tidak berwujud tetapi bukan dengan tujuan investasi.

Materi yang sangat berbobot menuai banyak pertanyaan, salah satunya dari Albert Christiono. ‘Apabila aset digital perusahaan tidak dapat dihitung oleh pihak internal menurut SAK untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP). Maka siapakah pihak yang berwenang untuk menghitungnya?’ tanya Albert. Menurut Ersa, pihak ketiga dari aset digital tersebut mengarah pada aset yang dihasilkan oleh internal perusahaan tidak boleh diakui. Misalnya saja, ada dua perusahaan Fintech yang membuat platform. Perusahaan satu memperkerjakan karyawannya untuk membuat platform. Sedangkan, perusahaan dua mempekerjakan tenaga luar. “Nah, perusahaan pertama membuat sendiri sehingga sudah diakui pembangunannya. Sedangkan apabila membeli, maka terjadi transaksi sehingga nilai platform bisa dimasukkan sebagai nilai aset,” jelas Ersa. (re1, et)