Mendeteksi Anxiety dan Depresi Anak Muda samueldim December 1, 2021

Mendeteksi Anxiety dan Depresi Anak Muda

Pada hari Sabtu, 20 November 2021, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Surabaya (BEM FK Ubaya) mengadakan webinar dengan tema World Mental Health. Webinar ini bertujuan mengenali gejala-gejala awal gangguan kecemasan atau anxiety dan depresi pada anak muda di tengah pandemi. dr. Era Catur Prasetya, Sp.KJ., selaku Dosen di Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Chika Aulia, S.Psi., selaku Pembicara Publik pada ranah Kesehatan Mental hadir sebagai narasumber pada webinar kali ini. Sedikitnya 280 peserta dari kalangan Ubaya dan non-Ubaya turut berpartisipasi dalam webinar yang digelar secara daring melalui Zoom.

Mengawali diskusi, dr. Catur menuturkan bahwa berbagai gejala depresi dan anxiety sudah sering terlihat, namun tidak ada yang berani mencari pertolongan. Adapun gejala depresi dan anxiety yang dimaksud, yaitu: merasakan sedih yang amat mendalam untuk jangka waktu panjang, tidak termotivasi, mudah lupa, dan merasa hampa. “Hal ini wajar terjadi karena berbagai stigma tidak baik yang ada di masyarakat,” jelas dr. Catur. Gejala depresi sudah terlanjur parah, perlu waktu pemulihan yang lebih lama. Hal ini dikarenakan walaupun sudah kembali bersemangat dan riang, pemulihan kognitif penderita depresi cenderung lebih pelan. “Meskipun sudah tidak sedih, kadang penderita masih merasa lola, ini adalah gejala yang disisakan,” jelas dr. Catur. Maka dari itu, sangat penting bagi kita untuk segera mendapatkan pertolongan sebelum gejala tersebut menjadi lebih parah.

Lebih lanjut, dr. Catur menjelaskan kapan waktu terbaik untuk mendapatkan penanganan dari psikolog atau psikiater. “Pergi ke psikolog atau psikiater tidak perlu saat gejala sudah parah sekali, seperti kita saat flu sudah terlebih dahulu ke dokter THT sebelum menjadi kanker nasofaring,” ujar dr. Catur. Gejala awal depresi yang menjadi penanda perlunya penanganan profesional di antaranya: ketidakmampuan menangani tekanan dan masalah sehari-hari, perubahan bermakna pada performa kerja atau prestasi di sekolah, perubahan perilaku, penyalahgunaan alkohol serta narkoba, dan lain sebagainya. Selain itu, respon terhadap suatu hal tanpa memberikan jeda juga dapat memicu terjadinya depresi.

Berfokus pada kasus anxiety, Chika menjelaskan bahwa anxiety adalah permasalahan kecil yang terus dipikirkan dan merujuk pada masalah. “Semakin bertambahnya usia, semakin banyak tuntutan dari sekitar kita, padahal yang menentukan adalah kita,” ujar Chika. Tidak hanya dari tuntutan lingkungan, anxiety yang terjadi juga terbagi menjadi dua. Secara internal, anxiety muncul dari pikiran negatif, ketidakstabilan emosi, kepercayaan diri yang rendah, impulsif, serta gangguan mental. Sedangkan faktor eksternalnya dimulai dari keluarga disfungsional, media sosial, social judgement, kultur rasis, sampai pada pengalaman traumatis.

Menanggapi berbagai hal yang dapat menimbulkan anxiety, Chika memaparkan berbagai solusi yang dapat dilakukan, seperti upaya melepaskan emosi dengan berbagai kegiatan atau katarsis. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan yaitu menulis, melukis, menonton film, mendengarkan musik, atau bercerita kepada teman. “Secara tidak sadar, dari pemilihan warna, genre film, atau musik itu menyesuaikan suasana hati kita,” papar Chika. Selain itu, dengan katarsis juga kita dapat meluapkan emosi yang dirasakan. Namun, Chika turut mengingatkan bahwa penting bagi kita untuk mengatur makan, istirahat, serta olahraga. Menutup materinya, Chika menegaskan untuk tidak membandingkan diri kita dengan orang lain dan mulai memikirkan hal-hal besar lainnya. “Ingat bahwa kita semua masih memiliki mimpi yang lebih besar daripada omongan orang lain,” tutup Chika. (RE4,dhi)