(In)Toleransi dari Perspektif Agama dan Pertemanan samueldim November 23, 2021

(In)Toleransi dari Perspektif Agama dan Pertemanan

Sabtu, 6 November 2021 Program Magister Psikologi Sains Universitas Surabaya (Ubaya) mengadakan webinar Tolerance in Diversity. Kegiatan ini bertujuan untuk memahami penyebab adanya intoleransi di kalangan masyarakat.

Hadir sebagai narasumber, Marselius Sampe Tondok, S.S., M.Si., selaku Dosen Fakultas Psikologi Ubaya membuka webinar dengan penjelasan mengenai intoleransi dari sudut pandang psikologi sosial dalam kasus berbasis agama. “Pada tahun 2018 hingga 2019, terdapat kasus kekerasan berbasis agama yang terjadi di 43 negara dengan intensitas yang fluktuatif,” papar Marselius. Berfokus pada kasus yang terjadi di Indonesia, kekerasan berbasis intoleransi agama memiliki pola yang dinamis dipengaruhi jelang kegiatan pemilu. Lebih lanjut, Marselius juga menjelaskan agama memiliki peran penting dalam kehidupan manusia namun bersifat paradoksal. Kemampuan untuk meningkatkan toleransi dan intoleransi karena agama melibatkan emosi manusia yang paling dalam.

Marselius menyatakan bahwa keberagaman agama tidak seharusnya menjadi alasan terjadinya intoleransi. Menurutnya, penyebab terjadinya intoleransi agama tersebut dipengaruhi oleh bagaimana cara manusia dalam beragama secara personal dan sosial. Sedangkan hal yang membuat cara beragama tersebut menjadi penyebab intoleransi yakni religiusitas yang subjektif, sehingga dapat menimbulkan pemaknaan yang berbeda. “Agama dan religiusitas merupakan bagian dari identitas yang sangat personal-sensitif sehingga perlu dikelola secara proporsional,” tutur Marselius.

Membawakan materi yang berbeda, Darmawan Muttaqin, S.Psi., M.A., selaku Dosen Fakultas Psikologi Ubaya menjelaskan terkait toleransi dalam bingkai pertemanan. Darmawan mengambil contoh pertemanan yang terdapat dalam film ‘Ada Apa Dengan Cinta’ yang memiliki keberagaman, seperti kondisi yang dialami oleh tiap tokoh, karakter, etnis, dan agama. “Memiliki teman dapat membantu kita untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis, performansi akademik, dan efikasi diri,” papar Darmawan. Selain itu pertemanan juga meningkatkan kecenderungan untuk berempati atau toleransi. Semisal kita ingin makan bersama teman yang agamanya melarang untuk mengonsumsi makanan tertentu, pasti kita akan mengajaknya ke restoran yang bisa dia nikmati. “Relasi pertemanan terbentuk diawali dengan sebuah ketertarikan dan adanya kesamaan seperti kedekatan geografis misalnya satu kelas, organisasi, atau kampung halaman,” kata Darmawan.

Melanjutkan penjelasannya, Darmawan mengangkat tantangan yang dihadapi anak. Anak tidak memiliki masalah berteman dengan orang yang berbeda etnis, tetapi karena larangan orang tua, muncullah sebuah keraguan dalam anak. Sesi tanya jawab menjadi sesi penutup pada webinar kali ini. Salah satu peserta dari Universitas Trunojoyo Madura, Dwi Nurhayati, menanyakan mengenai cara mengajarkan toleransi dalam perbedaan terhadap anak usia dini. Menanggapi pertanyaan tersebut, Marselius menjelaskan bahwa anak usia dini banyak belajar dari lingkungan keluarga dengan modelling. “Misalnya, seorang ayah cenderung untuk berteman dengan teman yang seagama saja, maka anak akan melihat dan menirunya,” tutup Marselius.(RE4,dhi)