Krisis Dalam Menjalani Kehidupan Jelang Dewasa samueldim November 12, 2021

Krisis Dalam Menjalani Kehidupan Jelang Dewasa

Konseling dan Pengembangan Diri Mahasiswa (KPDM) Universitas Surabaya (Ubaya) bersama Direktorat Pengembangan Kemahasiswaan (DPK) Ubaya melaksanakan webinar dengan tema “Quarter Life Crisis: Kegelisahanku di Seperempat Abad”pada Sabtu, 23 Oktober 2021. Webinar ini bertujuan memperkenalkan permasalahan krisis yang dialami oleh remaja akhir dan dewasa awal. Dra. Srisiuni Sugoto, M.Si., Ph.D., selaku Dosen Fakultas Psikologi Ubaya hadir sebagai narasumber pada webinar kali ini.

Webinar diawali dengan pertanyaan yang diajukan oleh Srisiuni melalui slide presentasi untuk menemukan adanya kecenderungan mengalami quarter life crisis. Walaupun hanya dijawab di dalam hati masing-masing tiap partisipan, Srisiuni yakin setiap manusia mengalami setidaknya beberapa butir pertanyaan, seperti apakah kita kesulitan dalam mengambil keputusan, berjuang untuk mencari tahu sesuatu yang hilang, mudah merasa letih, memiliki perasaan takut tertinggal, dan lain sebagainya. “Orang yang mengalami quarter life crisis tidak semua mengalami butir-butir pertanyaan ini, hanya beberapa saja,” ujar Srisiuni. Hal ini menunjukkan perlu adanya identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui apakah kita mengalami life crisis atau tidak.

Lebih lanjut, Srisiuni menjelaskan bahwa terdapat beberapa teori dari para ahli mengenai quarter life crisis. “Adanya lompatan yang besar antara masa remaja dan dewasa awal, sehingga Jeffrey Arnett mengungkapkan teori emerging adulthood,” papar Srisiuni. Teori yang dikemukakan oleh Arnett, seorang profesor psikologi, menyebutkan bahwa quarter life crisis adalah krisis yang terjadi pada individu usia ‘emerging adulthood’ (rentang usia 18-29 tahun). Srisiuni menjelaskan bahwa fase emerging adulthood menjadi masa terbaik untuk mencari banyak teman dan membangun relasi serta komitmen.

Selain itu, terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya quarter life crisis. Faktor pertama ialah nature (bawaan), seperti temperamen dan kondisi fisik. Kemudian faktor kedua adalah nurture (lingkungan), yaitu pola asuh keluarga, status sosial ekonomi, budaya, dan teman sebaya. “Jika kita memiliki bawaan temperamen yang baik atau mudah beradaptasi dan lingkungan keluarga serta pertemanan yang sehat, maka kita adalah individu yang tangguh atau tidak mengalami quarter life crisis,” jelas Srisiuni. Lebih lanjut, Srisiuni mengatakan bahwa orang dengan kepercayaan diri yang tinggi bukan berarti tidak memiliki kelemahan, melainkan mereka menyadari dan memahami kekurangannya.

Materi yang dipaparkan Srisiuni berhasil menarik perhatian para peserta. Salah satu peserta, Marcella Audi dari Fakultas Teknik Ubaya bertanya tentang, “Apa yang harus dilakukan jika kita tinggal di dalam lingkungan keluarga yang tidak aware dengan life crisis?” Menjawab pertanyaan tersebut, Srisiuni menyarankan untuk merenungkan terlebih dahulu apa yang menyebabkan life crisis terjadi. “Keluarlah dari zona nyamanmu. Sebagai penutup, Srisiuni mengatakan bahwa kita tidak perlu takut menghadapi krisis kehidupan dan menyalahkan diri sendiri. Melainkan, mulailah mencari penyebab dan solusinya bersama-sama.(RE4,dhi)