Aparat Harus Bantu Ciptakan Iklim Investasi yang Kondusif hayuning January 6, 2021

Aparat Harus Bantu Ciptakan Iklim Investasi yang Kondusif

JAKARTA ndash; Setelah mencuatnya pemberitaan bahwa aparat penegak hukum kerap merongrong pengusaha, jajaran Kapolri langsung menindaklanjuti dengan mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST/3326/XI/HUK.7.1./2020 tertanggal 27 November 2020.
Dalam surat yang ditandatangani Kadiv Propam Polri, Brigjen Pol Ferdy Sambo, secara tegas melarang aparat kepolisian melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang bisa merusak citra Polri.
Guru Besar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, yang diminta pendapatnya, mengatakan instruksi Kapolri tersebut yang jadi concern Presiden Joko Widodo merupakan upaya untuk memajukan perekonomian dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif dan memangkas ekonomi biaya tinggi. Seruan itu juga memperbaiki etika dan moral menuju bangsa yang lebih beradab.
“Langkah itu sangat diperlukan untuk menghilangkan kolestrol jahat (pungli-red) dalam tubuh ekonomi kita, karena kadarnya terlalu tinggi yang sangat tidak sehat,” kata Wibisono.
Perilaku yang hendak diberantas itu karena terbukti hanya memakmurkan segelintir orang, bukan untuk menyejahterakan masyarakat luas. Dalam berbagai kesempatan, katanya, Presiden menyerukan perlunya mengubah etika dan moral agar kita bisa menjadi bangsa yang lebih maju secara ekonomi dan beradab.
“Perlu pengendalian naluri, mana yang bisa diambil atau dimakan dan mana yang tidak,” kata Wibisono.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-49 Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) mengajak Aparatur Sipil Negara (ASN) mendukung upaya pemerintah mempercepat reformasi birokrasi dan reformasi struktural sebagai syarat agar negara bisa maju. “Di masa pandemi Covid-19 menjadi momentum yang tepat untuk melakukan perubahan fundamental dari cara-cara biasa menjadi cara-cara luar biasa,” kata Presiden.
Bahkan, dalam dua forum tingkat tinggi yaitu pada KTT APEC dan Pertemuan Negara-Negara G-20, Kepala Negara selalu mengajak investor untuk masuk menanamkan modal di Indonesia seiring dengan disahkannya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Regulasi tersebut selain memudahkan, juga diklaim memberikan kepastian hukum terkait persyaratan izin lingkungan, analisis dampak lingkungan, dan pembentukan dana rehabilitasi lingkungan.
Jokowi bahkan menekankan bahwa pascapandemi, Indonesia ingin membangun ekonomi yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan tangguh yang mutlak membutuhkan pembenahan secara fundamental. “Indonesia ingin melakukan transformasi besar. Menjadi komitmen Indonesia untuk menuju ekonomi lebih hijau dan berkelanjutan. Geliat pemulihan ekonomi tidak boleh lagi mengabaikan perlindungan terhadap lingkungan,” tegas Presiden.
Mental Birokrat
Sebelumya, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya Malang, Andy Fefta Wijaya, mengatakan agar ajakan Presiden tersebut efektif, perlu ditopang pembenahan mental birokrat yang akan menjalankan aturan tersebut. Sebab, produk legislasi sebaik apa pun kalau mental aktornya baik birokrat maupun aparat peshy;negak hukumnya masih seperti sebelumnya, kerap merongrong investor yang ada, maka sulit berharap lebih banyak.
“Mental yang kerap merongrong investor harus diubah melalui perubahan paradigma peran pemerintah,” kata Andy.
Dalam situasi saat ini, kata Andy, semestinya pemerintah mempertahankan investor yang sudah ada dengan mengshy;urus mereka, jangan malah diperas dengan pajak-pajak siluman. Sebab, praktik pungutan liar memicu ekonomi biaya tinggi. Hal tersebut yang harus dibenahi kalau mau mengundang investor.
“Orientasinya harus meninggalkan paradigma lama yang high cost dan low impact, menjadi sebaliknya seperti yang pernah disampaikan Presiden, setiap rupiah yang dikeluarkan harus diperhitungkan akuntabilitasnya. Jangan biayanya besar dan pelayanannya lama, tapi dampaknya kecil ke masyarakat,” kata Andy.
Apalagi menyongsong revolusi industri 4.0 dan pandemi, semuanya harus benar-benar low cost dan hight impact. Lebih-lebih pandemi, tentu kemampuan pemerintah dalam pembangunan berkurang karena anggaran banyak terserap untuk menangani krisis. Birokrat harus menyadari untuk tidak mengedepankan kekuasaan dalam menghadapi swasta dan masyarakat.
“Harus mengedepankan pendekatan win-win lewat kolaborasi dengan bisnis dan masyarakat, dalam menghadapi permasalahan pembangunan,” kata Andy.
n SB/E-9
Sumber: koran-jakarta.com