Tentang Adrenalin dan Logika yang Terasah hayuning December 11, 2020

Tentang Adrenalin dan Logika yang Terasah

Pada setiap wajah bopeng yang muncul dari gelap, perempuan berpunggung bolong yang memesan ‘Bang, sate, Bang,’ atau pintu yang diketuk malam-malam tapi tidak ada siapa-siapa ketika dibuka, ada hormon dopamin dan serotonin yang dialirkan tubuh. Yang membuat suasana hati jadi lebih baik sekaligus meningkatkan aktivitas otak.
‘Film horor mengikat penontonnya dengan rasa penasaran. Apa yang terjadi setelah ini? Siapa yang akan muncul dari gelap di adegan berikutnya? Mampu bertahan tidak si karakter utama di akhir film nanti? Semua itu mengasah otak,’ kata Agustina Twinky, psikolog.
Ahmad Ferdinand, seorang penggemar film horor, mengalami benar yang disampaikan Twinky itu. Horor memang memicu rasa takut, ngeri, tapi juga mengajaknya berpikir.
Sebab, lanjut Ahmad, kebanyakan alur cerita film horor dibuat maju-mundur.
‘Mau nggak mau kan jadi mikir. Jadi, sekalian belajar kayak bikin strategi gitu. Apalagi kalau horornya thriller gitu kan,’ kata pria kelahiran Jakarta, 27 tahun lalu, itu.
Sensasinya bertambah ketika menonton dalam suasana gelap dengan ditambah volume suara yang pas. ‘Jadi semakin menggugah adrenalin dan bikin penasaran,’ kata Ahmad yang doyan menonton film horor sejak duduk di bangku SMP.
Cynthia Apriani, penggemar yang lain, tak menampik bahwa sebetulnya ada rasa takut saat menonton film horor. Baik itu ketika nonton sendiri maupu bersama kerabat lain. Bahkan, tak jarang adegan yang ada di dalam film terbawa ke mimpinya.
Kendati demikian, kondisi itu tak membuatnya menjadi pribadi yang parno dan kapok untuk menonton film horor lagi dan lagi. ‘Kalau setannya nongol jelas, ditambah backsound yang bikin kaget. Deg-degan dikit, tapi nggak bikin aku takut sampai ciut,’ jelas karyawan swasta berusia 24 tahun itu.
Rentang usia penonton film horor luas. Mulai usia remaja sampai dewasa muda. Namun, tidak sedikit juga kalangan usia anak-anak dan orang tua.
‘Sekitar 15 sampai 35 tahun ya biasanya,’ kata Twinky.
Meski nonton film horor bisa memperbaiki mood dan mengasah otak, psikolog alumnus Universitas Surabaya itu menyarankan anak-anak di bawah usia 15 tahun tetap harus mendapat pengawasan dari orang dewasa.
‘Bila tidak, bisa berakibat buruk,’ kata owner ESYA Terapi dan SEBAYA School tersebut.
Di antaranya, membuat anak takut hingga berhalusinasi saat dihadapkan pada beberapa situasi. Di antaranya, takut ditinggal sendiri, berada di tempat gelap, rumah sakit, pemakaman, pohon besar, dan segala hal berkaitan dengan sesuatu yang ada di film-film horor. Kondisi tersebut jelasm embuat siapa pun yang mengalaminya tidak bisa bergerak dengan bebas.
Di situ pentingnya pendampingan oleh orang dewasa. ‘Ubah pola pikirnya, diedukasi bahwa ini hanya buatan. Kalau orang dewasa seharusnya sudah mengerti ya, memandangnya dari sisi hiburan,’ katanya.
Muhammad Irfansyah termasuk yang demikian. Dia rutin menonton horor, tapi tak pernah merasa sampai terteror, apalagi berhalusinasi.
‘Seru (nonton film horor, Red), tapi habis nonton ya udah, nggak menjiwai sampai ke dunia kita segala,’ ujar pria 25 tahun itu.
Menurut Twinky, pada individu dewasa, mayoritas penikmat film horor umumnya adalah para introvert. Dalam arti, mereka yang lebih suka keadaan sepi dan sendiri. Meski tidak tertutup kemungkinan juga disukai mereka yang berkarakter extrovert.
‘Semua bali lagi ke cara pandang masing-masing individu ya,’ katanya. (shf/c7/ttg).
Sumber: Jawa Pos, 29 November 2020