Praktisi Ekonomi Ubaya Ungkap 12 Hoax Omnibus Law hayuning October 30, 2020

Praktisi Ekonomi Ubaya Ungkap 12 Hoax Omnibus Law

KBRN, Surabaya : Gerakan Mahasiswa Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya (FBE Ubaya) gelar webinar Omnibus Law “The Game Changer For Millennials Business”. Webinar ini sebagai bentuk respon aksi demonstrasi anarkis penolakan Omnnibus Law yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia.
Pada kesempatan ini, pakar bisnis dan ekonomi Ubaya ungkap 12 hoax Omnibus Law sekaligus mengajak mahasiswa memahami makna UU Cipta Kerja.
Sebelum webinar dimulai, Dr. Putu Anom Mahadwartha, S.E., M.M., CSA. selaku Dekan FBE Ubaya memberikan sambutan dan arahan kepada peserta webinar Omnibus Law. Webinar ini diikuti oleh 600 peserta yang terdiri dari mahasiswa dan dosen FBE Ubaya.
Putu Anom Mahadwartha berharap dengan adanya webinar Omnibus Law ini dapat memberikan pandangan dan wawasan kepada mahasiswa baru agar paham mengenai kebijakan apa saja yang telah diatur UU Cipta Kerja dalam perspektif ekonomi dan bisnis.
“Kita akan membahasnya secara akademik mengenai Omnibus Law yang berkaitan dengan ekonomi dan bisnis di Indonesia. Selain mengikuti perkembangan di media sosial, mahasiswa perlu update dan dibekali keilmuan yang lain supaya lebih peduli dengan perkembangan yang terjadi di negaranya sendiri,” ungkap Putu Anom Mahadwartha, Sabtu (24/10/2020).
Webinar ini menghadirkan dua narasumber sebagai pembicara. Pembicara pertama yaitu Drs.ec. Eko Walujo Suwardyono, M.M. selaku Dosen Prodi Ilmu Ekonomi FBE Ubaya memaparkan topik mengenai “RUU Omnibus Law Cipta Tenaga Kerja (Versi 812 Halaman) : Tinjauan Ekonomi Bisnis”.
Sedangkan materi berikutnya mengenai “UU Cipta Kerja: Perspektif Ekonomi Bisnis” disampaikan oleh Dr. Werner Ria Murhadi, S.E., M.M., CSA. selaku Dosen Prodi Manajemen Ubaya. Webinar dipandu oleh Hari Hananto, S.E., M.Ak. selaku Dosen Prodi Akuntansi FBE Ubaya.
Kedua narasumber menyampaikan jika Omnibus Law tercipta didasari dengan adanya niatan atau itikad baik dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk merampingkan dan menyederhanakan berbagai regulasi agar tidak tumpang tindih.
Namun, masyarakat belum banyak yang membaca dan memaknai keseluruhan isi pasal dari Omnibus Law UU Cipta Kerja. Saat ini masyarakat perlu memahami jika terciptanya Omnibus Law berdasarkan hasil pertimbangan pemerintah melihat kondisi ekonomi Indonesia di tingkat ASEAN maupun global.
Data kemudahan berusaha tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-73 dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang lain. Sedangkan dalam Global Entrepreneurship Index (GEI) ASEAN 2020, Indonesia meraih peringkat ke-75 dibawah Vietnam.
Selain itu, Indonesia menempati peringkat 1 dalam Global Complexity Index 2020 yang artinya Indonesia memiliki birokrasi paling kompleks.
“Adanya Omnibus Law bertujuan untuk mempermudah perizinan membuka usaha UMKM atau industri agar tidak ribet atau berbelit. Hal ini untuk menghindari terjadinya korupsi atau pungli di Indonesia. Ini saatnya Indonesia memperbaiki masa depan negara dan masyarakat untuk 20 tahun mendatang,’ tambahnya.
‘Jangan sampai Indonesia tertinggal oleh negara-negara lain yang berlomba-lomba untuk memperbaikinya,” lanjut Werner, sapaan akrab Kaprodi Magister Manajemen FBE Ubaya.
Werner menjelaskan bahwa kondisi angkatan kerja di Indonesia tahun 2020 menunjukkan 45,84 juta orang bekerja tidak penuh atau tidak bekerja. Ditambah lagi, dengan 3,5 juta pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat Covid-19.
Hal ini membuat jumlah pengangguran di Indonesia semakin bertambah. Akhirnya pemerintah berusaha untuk membuka lahan investasi guna menyerap tenaga kerja bagi pengangguran atau masyarakat terdampak Covid-19.
Werner menambahkan adanya UU Cipta Kerja diharapkan dapat membantu penciptaan lapangan kerja dalam rangka memanfaatkan surplus demografik dan menghindari negara masuk dalam middle income trap.
“Tahun 2035 adalah tahun bonus demografik, jangan sampai menjadi malapetaka demografik karena banyak masyarakat yang menganggur. Seharusnya bisa menjadi tahun generasi muda bekerja dan berkarya,” terangnya.
Namun masyarakat cenderung lebih percaya terdapap isu hoax yang beredar dibandingkan dengan memeriksa isi pasal dan kebijakan yang dibuat pemerintah. Terdapat 12 hoax UU Cipta Kerja dalam Omnibus Law yang sering diperdebatkan oleh masyarakat.
Pertama, uang pesangon dihilangkan sedangkan faktanya uang pesangon tetap ada. Kedua, Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dihapus tetapi faktanya tetap ada dengan aturan UMK lebih tinggi dari pada UMP.
Ketiga, upah buruh dihitung perjam sedangkan faktanya tidak ada perubahan dengan upah saat ini yaitu bisa dihitung perjam atau berdasarkan hasil. Keempat, hak cuti hilang dan tidak ada kompensasi sedangkan faktanya tetap ada waktu istirahat dan cuti.
Kelima, outsourching diganti kontrak seumur hidup sedangkan faktanya outsourching dialihkan ke perusahaan alih daya dan pekerja menjadi karyawan di perusahaan alih daya. Keenam, tidak ada status karyawan tetap sedangkan faktanya tetap ada. Ketujuh, perusahaan dapat memutus hubungan kerja kapan pun secara sepihak.
‘Namun faktanya perusahaan tidak bisa secara sepihak memutus hubungan kerja,’ paparnya.
Kedelapan, jaminan sosial dan kesejahteraan hilang. Faktanya jaminan sosial tetap ada dan ditambah dengan adanya jaminan kehilangan pekerjaan. Kesembilan, semua karyawan berstatus tenaga harian sedangkan faktanya status karyawan tetap masih ada.
Kesepuluh, Tenaga Kerja Asing (TKA) bisa bebas. Faktanya adanya pembatasan TKA dan tidak boleh ada jabatan personalia di tempat kerja. Hoax selanjutnya, buruh dilarang protes dan bisa di PHK tetapi faktanya tidak ada larangan.
Terakhir, libur hari raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti. Faktanya sejak dahulu penambahan hari libur di luar tanggal merah tidak diatur di Undang-Undang tetapi berdasarkan kebijakan pemerintah.
“Masyarakat cenderung lebih percaya terhadap hoax dibandingkan dengan membaca keseluruhan isi pasal Omnibus Law UU Cipta Kerja. Harusnya dibaca dahulu, bandingkan dengan yang lama. Seandainya ada yang tidak setuju atau beberapa pasal yang dianggap masih keliru, masyarakat bisa mengajukan Judicial Review ke MK (Mahkamah Konstitusi),” tutup Werner.
Sumber: rri.co.id