Menyikapi Omnibus Law: Perluas Wawasan dengan Berdiskusi hayuning October 26, 2020

Menyikapi Omnibus Law: Perluas Wawasan dengan Berdiskusi

Akhir-akhir ini istilah Omnibus Law atau yang kerap disebut juga sebagai Undang-Undang Sapu Jagat sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Pada umumnya sebagian besar masyarakat Indonesia masih asing dengan istilah tersebut. Namun baru-baru ini, istilah tersebut mulai disorot oleh publik setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cipta Kerja) pada tanggal 5 Oktober 2020 melalui Sidang Paripurna. Dikutip dari Tirto.id, menurut Audrey O Brien, istilah Omnibus Law sendiri merujuk pada suatu rancangan undang-undang yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Dengan kata lain, Omnibus Law merupakan salah satu cara untuk menyederhanakan beberapa undang-undang menjadi satu regulasi yang terpadu (tidak tumpang tindih).

Pro dan kontra kemudian timbul terkait RUU Cipta Kerja tersebut. Sebagian masyarakat seperti buruh dan pekerja lainnya merasa resah dikarenakan RUU Cipta Kerja tersebut cenderung merugikan mereka. Tak hanya buruh, mahasiswa yang lekat disebut sebagai Agen Perubahan pun turut serta menyampaikan keresahannya. Aksi demonstrasi sebagai bentuk penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja pun merebak di kota-kota besar seperti Jakarta, Makassar, Yogyakarta, dan Surabaya. Guna menyikapi hal tersebut, Majelis Perwakilan Mahasiswa Universitas Surabaya (MPM Ubaya) bersama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Surabaya (BEM-US) mengadakan Forum Diskusi yang mengusung topik “RUU Cipta Kerja: Dari Siapa Untuk Siapa?” pada hari Jumat, (09/10).

Forum diskusi yang diselenggarakan via Zoom tersebut ditujukan sebagai wadah bagi mahasiswa Ubaya untuk menyampaikan aspirasinya terkait Omnibus Law. “Forum diskusi ini merupakan sebuah langkah yang cerdas. Kita sebagai insan-insan yang berada dalam suatu perguruan tinggi memang ada baiknya untuk harus lebih banyak belajar dan mendiskusikan poin-poin apa yang menjadi permasalahan di dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja,” ujar I.r Benny Lianto, M.M.B.A.T selaku Rektor Universitas Surabaya dalam sambutannya. Diharapkan setelah mengikuti forum diskusi ini, mahasiswa Ubaya dapat memperoleh wawasan baru terkait RUU Cipta Kerja yang kemudian dapat dijadikan sebagai landasan dalam menyikapi RUU tersebut dengan cara yang cerdas.

Diskusi ini menghadirkan lima pemantik yang juga merupakan Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Kelima pemantik tersebut akan mengkaji Omnibus Law dari berbagai aspek. Pemantik pertama, Wafia Silvi Dhesinta Rini, S.H., M.H. membuka diskusi dengan menjelaskan dampak Omnibus Law Cipta Kerja terhadap lingkungan hidup. Kemudian disusul oleh pemantik kedua yakni Erly Aristo S.H., M.Kn., yang mengkaji Omnibus Law dari aspek pertanahan dan perizinan. Selanjutnya, Dr. Sonya Claudia Siwu, S.H., M.H., LL.M. sebagai pemantik ketiga mencoba memaparkan perihal Omnibus Law dari perspektif hukum menggunakan bahasa yang lebih sederhana agar dapat dipahami oleh seluruh kalangan. “Hukum dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi rakyat oleh sebab itu dalam pembentukannya diperlukan partisipasi dari rakyat,” tuturnya.

Berdasarkan sudut pandang Sonya, partisipasi masyarakat dalam pembentukan RUU Cipta Kerja tersebut tidak nampak. Menurutnya, tidak fair apabila masyarakat yang memiliki berbagai macam latar belakang dituntut untuk paham dan membaca ratusan halaman RUU Cipta Kerja. “Tidak semua masyarakat memiliki pemikiran yang sama seperti pemerintah, tidak semua masyarakat memiliki latar belakang pendidikan yang cukup sehingga bisa memahami isi dari RUU Cipta Kerja tersebut,” ujarnya. Sebagai informasi, Omnibus Law Cipta Kerja mencakup 11 klaster yang diantaranya meliputi penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, pengadaan lahan, dan lain sebagainya. Pada akhir sesinya, Sonya berharap agar pemerintah yang memiliki power dapat melindungi masyarakat yang kedudukannya lemah.

Lebih lanjut, Dr. Hj. Hesti Armiwulan, S.H., M.Hum., selaku pemantik keempat memperjelas status daripada RUU Cipta Kerja ini. “Omnibus Law ini belum berada di tahap menjadi undang-undang. Pada tanggal 5 Oktober masih pada tahap persetujuan antara DPR dan Pemerintah.” ujar Hesti. Maka dari itu, Hesti menegaskan bahwa RUU Cipta Kerja saat ini masih belum berlaku. “Pengesahan ditandai dengan tanda tangan Presiden, kemudian baru diundangkan dan diberikan nomor. Sejak saat itulah undang-undang tersebut mulai berlaku.” tambahnya. Pemantik kelima, Muhammad Insan Tarigan, S.H., M.H., juga menambahkan bahwa pemerintah perlu memperhatikan cara menyusun peraturan perundang-undangan. “Intinya, mari kita kawal bersama RUU Cipta Kerja ini dengan cara yang elegan. Jangan sampai kedepannya terjadi penyusunan pembentukan perundang-undangan dengan situasi yang belum siap seperti ini,” tuturnya.

Menutup sesi diskusi, Ferdinand Christian selaku ketua MPM Ubaya dan juga sebagai moderator dalam forum diskusi ini menyediakan sesi tanya jawab. Dikarenakan waktu yang terbatas namun antusias peserta yang cukup tinggi, alhasil hanya beberapa pertanyaan yang dapat terjawab. Meski begitu, tak dapat dipungkiri bahwa forum diskusi ini sedikit banyak telah menjawab sekaligus memperluas pemikiran seluruh peserta yang berpartisipasi. Dapat disimpulkan bahwa, kekurangan dari Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja memang cukup banyak berdasarkan perspektif hukum. Namun perlu diingat pula bahwa setiap peraturan perundang-undangan pasti memiliki kekurangan dari berbagai sisi. Untuk itu sebagai mahasiswa, jangan pernah berhenti untuk mencari dan memperluas wawasan agar dapat menentukan langkah apa yang paling tepat dalam menyikapi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (feb)