Pedofil Kerap Beraksi di Lingkungan Bermain, Psikolog Ubaya Sarankan Perkuat Koneksi dengan Anak hayuning August 3, 2020

Pedofil Kerap Beraksi di Lingkungan Bermain, Psikolog Ubaya Sarankan Perkuat Koneksi dengan Anak

Ilustrasi: freepik.com (@vectorpocket)
SURABAYA – Pelecehan hingga kasus pencabulan pada anak kembali terjadi di Kota Surabaya.
Nahas kasus pelecehan seksual ini terjadi di lingkungan bermain anak.
Karena penyimpangan sesksual pelaku, anak-anak dijadikan sebagai obyek memenuhi nafsu.
Psikolog Universitas Surabaya (Ubaya), Dr Elly Yuliandari MSi mengungkapkan statistik dunia menunjukkan satu dari tiga anak memiliki peluang menjadi korban pedofilia.
Apalagi pedofil ini biasanya merupakan orang yang ada di lingkungan bermain atau lingkungan sekolah anak.
‘Berhubungan seksual ini arahnya kekerasan pada anak, entah itu pedofil atau tidak, hal ini tergolong kejahatan,’ungkapnya.
Dikatakan kekerasan pada anak ini karena orang dewasa melakukan intervensi seksual pada anak. Dan korban dikategorikan anak jika berusia kurang dari 18 tahun.
Seorang Pedofil yang menjadikan anak sebagai objek seksual, akan mengganggu tumbuh kembang psikologis anak. Karena anak sering dilecehkan secara seksul maka bisa memancing perilaku seksual anak pada pada anak lainnya.
‘Misalnya anak sering dilecehkan, bisa jadi suatu saat anak ini akan melakukan pelecehan itu pada anak lainnya juga. Hal ini akan menimbulkan masalah bagi anak ini dan anak lain,’lanjutnya.
Elly pun menyinggung kasus lelaki berumur 56 tahun karena mencabuli anak perempuan dan laki-laki berusia lima tahun di Surabaya. Dikatakannya kasus ini harus didalami karena bisa jadi korban lebih banyak dari yang melapor.
’90 persen kasus pelecehan anak ini silent. Karena kadang pelaku mengungkapkan perlakuannya merupakan sesuatu yang khilaf. Sehingga bisa berakhir damai,’ujarnya.
Padahal dampak pada anak berlangsung seumur hidup.
Sementara itu, ciri pedofil cukup beragam menurut Elly. Bahkan dari empat pedofil yang ia wawancarai, satu diantaranya melakukan kekerasan seksual pada anak lantaran kekecewaan pada istrinya.
‘Para pedofil ini biasa menghindari pembicaraan yang berkaitan dengan norma. Mereka membenarkan perilakunya dengan berkata ia khilaf,’ tutur Elly.
Dari sejumlah kasus, Elly melihat pelaku pedofil ini bukan selalu kalangan berIQ rendah atau dari kalangan ekonomi rendah. Namun, sasaran mereka rata-rata merupakan anak yang memiliki kelemahan.
Seperti kekurangan perhatian, atau membutuhkan dukungan finansial untuk membeli berbagi kebutuhan dan keinginan anak.
‘Jadi para pedofil ini biasanya tahu anak-anak ini misal butuh tas sekolah, buku sekolah, handphone. Kemudian ditawari oleh mereka. Bahkan kadang hanya dengan pujian serti kamu cantik loh, coba kirimi foto yang agak gimana gitu,’ terangnya.
Untuk itu, Elly menyarankan agar orang tua memiliki koneksi yang kuat dengan anak. Dimulai dari sering berkomunikasi dan mengetahui kebiasaan anak.
Sehingga bisa mengetahui jika ada perbedaan perilaku pada anak.
‘Anak itu punya pola,kapan main,kapan tidur, main dimana. Anak sukanya apa dan akan mau nurut kalau gimana. Ini yang harus diperhatikan seksama,’ ujarnya.
Sehingga jika ada perubahan pola anak seperti biasanya suka main sekarang tidak. Khususnya perhatian anak pada organ seksual.
Pendekatan intensif juga harus dilakukan untuk mengetahui apa anak mendapat pelecehan. Bisa melalui berbicara atau pendekatan non verbal seperti menggambar.
‘Ada anak TK yang pernah mendapat pelecehan seksual, mungkin aktivitasnya biasa saja. Tapi bisa jadi tiba-tiba anak memiliki kosa kata yang berbau seksual. Ini harus dicari tahu dari mana,’ lanjutnya.
Sementara di lingkup sekolah, peluang pelecehan terjadi harus dihilangkan dengan memberikan aturan tegas aktivitas pengajar dan siswa.
Sehingga tidak ada celah aktivitas pengajar secara pribadi dengan siswa untuk melakukan pelecehan.
Sumber: jatim.tribunnews.com