Pandemi Covid-19 Narapidana Dibebaskan, Begini Kata Pakar Hukum Ubaya hayuning May 29, 2020

Pandemi Covid-19 Narapidana Dibebaskan, Begini Kata Pakar Hukum Ubaya

Ilustrasi: freepik.com (@rawpixel.com)
SURABAYA ndash; Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) gelar diskusi bersama bahas kebijakan pelepasan narapidana di tengah Covid-19. Narasumber yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi yaitu Michelle Kristina, S.H., M.Kn. selaku Dosen Fakultas Hukum atau pakar hukum Ubaya.
Diskusi yang dilaksanakan melalui webinar (web seminar) dengan tema ‘Pelepasan Narapidana Di Masa Pandemi Covid-19’ diikuti oleh mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Ubaya, Selasa (19/5/2020).
Beberapa waktu yang lalu masyarakat diresahkan dengan adanya kebijakan pemerintah yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM mengenai pembebasan narapidana untuk menekan angka laju penyebaran Covid-19 di lapas. Kebijakan ini dibuat agar tidak terjadi cluster baru di masyarakat.
Namun, pelepasan narapidana di tengah COVID-19 dianggap tidak efektif dan menimbulkan permasalahan baru yang lain di masyarakat. Lantas, bagaimana sebetulnya kebijakan pemerintah dilihat dari perspektif Hukum?
Michelle Kristina, S.H., M.Kn. selaku Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Ubaya menjelaskan mengenai landasan dalam pelepasan narapidana di masa Covid-19. Ada tiga landasan yang digunakan yaitu landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Jika dilihat berdasarkan landasan filosofis maka peraturan dikeluarkan berkaitan dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Saat ini kondisi lapas dan LPKA di Indonesia memiliki tingkat hunian yang sangat tinggi atau over capacity sehingga dianggap rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19. Oleh sebab itu, sebagai upaya penyelamatan narapidana dan anak yang ada di lapas maka pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut.
Sedangkan landasan yuridis menekankan pada aspek hukum yang penting bagi masyarakat. Tanpa keberadaan hukum tidak akan terwujud masyarakat yang tertib dan harmonis. Berdasarkan landasan yuridis, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 10 Tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi para narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.
“Program asimilasi tersebut tidak diberikan kepada narapidana yang termasuk dalam kategori terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, kejahatan transnasional, dan Warga Negara Asing (WNA). Sebenarnya program asimilasi dari dulu sudah ada, narapidana yang dilepaskan harus memenuhi syarat dan ketentuan berperilaku baik. Bedanya, saat ini mereka dilepaskan di masa pandemi,” sambungnya.
Michelle Kristina menyampaikan dari landasan sosiologis bahwa sebanyak kurang lebih 30.000 hingga 35.000 narapidana dan anak dibebaskan untuk mengurangi over capacity dan menekan munculnya penyebaran Covid-19 di lapas.
Keputusan ini di respon oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dengan mengajukan gugatan kepada Kementerian Hukum dan HAM jika kebijakan dinilai tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Indonesia. Kebijakan tersebut dapat menimbulkan masalah baru dan meningkatnya kriminalitas di masyarakat saat pandemi.
Beberapa laporan kasus tercatat adanya pengulangan tindakan kriminal yang dilakukan oleh narapidana hasil program tersebut. Namun, Kementerian Hukum dan HAM mengklaim hanya sebagian kecil saja dari narapidana program asimilasi Covid-19 yang berulah jika dibandingkan dengan jumlah yang bebas.
Motif kriminalitas dapat terjadi karena beberapa hal yaitu melihat adanya peluang hukum membuat narapidana dapat dengan mudah kembali melakukan kejahatannya. Selanjutnya, adanya motif tertentu yang mendorong untuk melakukan tidakan kriminalitas seperti faktor kebutuhan ekonomi di masa pandemi.
Terakhir, kriminalitas dapat terjadi jika narapidana program asimilasi tidak diterima dengan baik oleh masyarakat sehingga terpaksa bergabung lagi dengan lingkungannya yang lama.
“Hukum itu menjadi payung bagi ketertiban masyarakat. Jika kebijakan ini dilihat sebagai salah satu strategi untuk mengurangi angka penyebaran Covid-19 di lapas maka pemerintah tidak boleh serta merta meninggalkan aturan ini begitu saja setelah narapidana bebas. Pemerintah harus bisa membuat tindakan atau langkah selanjutnya untuk keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat maupun narapidana. Sehingga tidak akan terjadi masalah dan pengulangan tindakan kejahatan di tengah pandemi,” lanjutnya.
Beberapa dosen Fakultas Hukum Ubaya juga hadir dalam diskusi serta memberikan tanggapannya terkait kebijakan pemerintah. Dr. Suhartati, S.H., M.Hum. menambahkan kebijakan pelepasan narapidana juga telah dilakukan oleh negara lain. Tetapi, kunci yang harus diingat oleh pemerintah adalah terus melakukan monitoring dan pengawasan untuk memastikan kondisi narapidana yang sudah keluar dan berada di masyarakat.
Disamping itu, Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M. menuturkan masyarakat menjadi resah karena kurangnya transparansi pemerintah terkait kriteria narapidana yang dikeluarkan serta jumlah yang begitu banyak dilepaskan. Selama ini Badan Pemasyarakatan (Bapas) sebetulnya kesulitan untuk melakukan proses pembinaan selama program asimilasi kepada narapidana agar bisa diterima kembali oleh masyarakat.
“Agar narapidana punya kesempatan diterima di masyarakat adalah memberdayakan mereka untuk kegiatan yang positif di tengah pandemi. Contohnya adalah memberikan tempat tinggal bagi mereka, bukan di lapas. Di sana mereka bisa diberdayakan untuk membuat masker, APD, atau kebutuhan lain sehingga mengurangi tindakan pengulangan kriminalitas. Mereka juga diajarkan keterampilan sehingga bisa diterima kembali di masyarakat,” pungkas salah satu pakar hukum Ubaya, Elfina Lebrine Sahetapy. (*)
Sumber: timesindonesia.co.id