Diskusi Peran Ilmu Psikologi Forensik dalam Hukum Indonesia hayuning May 22, 2020

Diskusi Peran Ilmu Psikologi Forensik dalam Hukum Indonesia

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya tidak berhenti mengedukasi masyarakat di tengah-tengah pandemi Covid-19. Tepatnya 13 Mei 2020, Fakultas Psikologi Ubaya mengadakan webinar “Mengenal Psikologi Forensik dan Peran Ilmuwan Psikologi Forensik”. Webinar yang dimoderatori oleh Ananta Yudiarso, S.Sos., M.Si, selaku Wakil Dekan 1 Ubaya ini menghadirkan Prof. Dr. Yusti Probowati, M.Si., Psikolog., selaku Guru Besar Psikologi Forensik Universitas Surabaya. Webinar ini dihadiri sedikitnya 200 peserta, dari berbagai kota di Indonesia seperti: Jogja, Manado, Medan, Jakarta, Surabaya, dan wilayah wilayah lainnya.

“Ini salah satu bentuk kepedulian Ubaya untuk berbagi selama pandemi,” ungkap Yusti yang sudah menekuni bidang Psikologi Forensik ini sejak tahun 1995. Pada kesempatan kali ini Prof Yusti akan membahas mengenai Psikologi Forensik, kompetensi Psikologi Forensik di ranah hukum Indonesia, serta memahami sertifikasi asisten Psikolog Forensik.“Psikologi forensik adalah pemberian layanan Psikologi dalam bidang Hukum,” terang Yusti. Oleh karena itu, ilmuwan Psikologi yang berkecimpung di bidang ini haruslah memahami sistem hukum suatu negara. “Misalnya kalau di Amerika ada sistem Juri, sementara di Indonesia tidak,” tambahnya. Baginya, hal ini akan memengaruhi detail layanan yang diberikan.

Pada akhir sesi, antusiasme peserta tidak terbendung. Tidak terhitung pertanyaan yang dilontarkan oleh berbagai mahasiswa dari sejumlah universitas yang ada di penjuru Indonesia ini. Salah satunya Rosa Uli dari Universitas HKBP Nommensen Medan. Ia bertanya mengenai peran Psikologi Forensik pada Napi yang memiliki gangguan Psikopat.

Yusti pun menjawab dengan salah satu contoh kasus di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Blitar. “Ada anak yang membunuh temannya dengan dibakar hidup-hidup, dan dia nggak merasa bersalah. Ini salah satu contoh psikopat, karena tidak ber empati,” jelasnya. Namun selang beberapa tahun, ketika dirinya menyempatkan kesana, anak tersebut sudah dilepas dan dibebaskan.

“Ini bisa jadi bom waktu. Kalau ia keluar tidak menjadi lebih baik dalam konteks sehat, tetapi bisa jadi lebih baik melakukan kejahatan,” terangnya. Ia pun berpendapat karena ini kurangnya pemenuhan kebutuhan SDM Ilmuwan Psikologi Forensik ataupun Psikolog Forensik yang concern pada hal tersebut. “Ini tentunya jadi PR kita bersama,” tutupnya. (sml)