Konsekuensi Yuridis Pembatasan Sosial Berskala Besar hayuning April 7, 2020

Konsekuensi Yuridis Pembatasan Sosial Berskala Besar

Oleh: Dr. Hwian Christianto, S.H., M.H.
Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Jakarta – Setelah 29 hari sejak diumumkannya dua pasien positif Covid-19 (2/3), Presiden Jokowi akhirnya bersikap. Mengakhiri bulan Maret, Presiden menetapkan dua peraturan sekaligus. Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) Covid-19 dan Peraturan Pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk percepatan penanganan Covid-19. Secara urutan, Keppres ini ditetapkan terlebih dahulu disusul Peraturan Pemerintah.
Sebelumnya pemerintah menegaskan tidak akan memberlakukan lockdown karena pertimbangan ekonomi dan sosial. Hanya, data perkembangan Covid-19 per 30/3 memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan. Seolah kebijakan ini tidak berdampak apapun bagi pemerintah maupun masyarakat. Padahal ada konsekuensi penting yang harus dipahami. PSBB memiliki konsekuensi yuridis bagi pemerintah maupun masyarakat, terutama di bidang kesehatan.
Konsekuensi bagi Pemerintah Daerah
Secara normatif, UU Pemerintahan Daerah membagi urusan pemerintahan bidang kesehatan. Tiga hal yang diatur, Upaya Kesehatan, SDM Kesehatan, serta Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Makananan Minuman. Pembagian urusan kesehatan ini didasarkan pada wewenang dan peran masing-masing pemerintah. Kebijakan nasional untuk pemerintah pusat, koordinasi wilayah untuk pemerintah provinsi, dan pelaksanaan kesehatan pada pemerinta kabupaten/kota.
Per 31 Maret, rancangan bangun pembagian urusan di bidang kesehatan pastinya berubah total. Peraturan Pemerintah 21/2020 menekankan 3 (tiga) aspek, wewenang pemerintah pusat dan daerah, mekanisme pemberlakuan PSBB serta syaratnya. Tidak boleh disangkal bahwa Peraturan Pemerintah ini dilatarbelakangi beberapa pemerintah daerah yang sudah memberlakukan isolasi wilayah, misalnya Tegal, Papua, dan Makasar.
Pemerintah daerah berinisiatif melindungi warganya dengan melakukan upaya maksimal. Peraturan Pemerintah mengklarifikasi melalui situasi ini sejak awal dengan Pasal 2-nya. Wewenang penetapan daerah untuk PSBB berada di tangan menteri urusan kesehatan. Tidak boleh dipahami menteri urusan kesehatan di sini terbatas pada Menteri Kesehatan, tetapi semua menteri yang menyelenggarakan pemerintahan urusan kesehatan.
Setidaknya ada 6 (enam) menteri terkait, yakni Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Keuangan, Menteri Agama, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, dan kemungkinan menteri terkait lainnya.
Tidak serta merta persetujuan suatu daerah memberlakukan PSBB. Peraturan Pemerintah rupanya tetap memperhatikan prinsip pembagian urusan kesehatan dalam UU Pemerintahan Daerah. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk melakukan pembatasan berskala besar atau pembatasan pergerakan orang dan/atau barang. Artinya, ide atau usulan kebijakan PSBB dari pemerintah daerah.
Hanya, sebelum mengajukan harus taat mekanisme. Sebelum PSBB berlaku harus diajukan! Tidak boleh pemerintah daerah serta merta menetapkan. Pemerintah daerah melengkapi syarat substansi dari aspek kesehatan dan aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Dari sisi substansi saja, banyak aspek yang harus dipenuhi sehingga kebijakan ini lebih bersifat administratif dan teknis.
Konsekuensi bagi Masyarakat
Perkembangan Covid-19 dalam tren yang terus meningkat tentu membuat cemas. Pemberlakuan Peraturan Pemerintah setidaknya memberi kejelasan bagi masyarakat. Kebijakan PSBB menunjukkan Indonesia tidak seperti Italia dengan total lockdown-nya, bukan pula seperti isolasi wilayah tertentu seperti negara-negara lainnya. Boleh dikata, PSBB merupakan langkah beda Indonesia menangani Covid-19.
Ada dua kondisi dari pemberlakuan PSBB, yakni kondisi sebelum (pra) dan setelah ada (pasca) penetapan PSBB pada wiayah tertentu. Kondisi sebelum diberlakukannya PSBB, masyarakat tetap merujuk imbauan pemerintah pusat untuk melakukan work from home (WFH). Segala pemenuhan kebutuhan dasar tetap menjadi tanggung jawab tiap individu. Akibatnya, pergerakan orang dan/atau benda masih dimungkinkan berjalan cepat. Terlebih jika ada kondisi masyarakat belum sadar benar pentingnya WFH, baik karena faktor subjek, faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor keamanan. Dampaknya, persebaran Covid-19 semakin tidak terkendali.
Dampak pasca penetapan PSBB, masyarakat mendapatkan jaminan penuh atas kebutuhan dasarnya dari pemerintah. Pembatasan 3B (bekerja, beribadah, dan belajar di rumah) ditambah beraktivitas di rumah, tidak di tempat umum, pastinya mengubah platfrom kehidupan. Pemerintah mempersiapkan ini dengan keringanan biaya listrik daya 450 VA dan 900 kwh selama 3 bulan, larangan mudik, keringanan kredit, dan support dana Rp 405,1 triliun dari APBN.
Terlepas dari berbagai kritikan, langkah ini mengarah pada sinergitas mempertegas social distancing dalam bentuk physical distancing. Masalahnya, platfrom kehidupan masyarakat bergerser ke dunia maya. Konsumsi media internet berjalan seiring dengan tingkat kebutuhan berinteraksi menciptakan kebutuhan baru, yakni kuota internet. Pembiayaan kebutuhan internet semakin naik menciptakan berbagai ruang sosial dalam beraneka ragam minat, hobi, pekerjaan atau sekedar fun.
Interaksi interpersonal pun berkurang pada ruang publik, kerja, bahkan keluarga. Peluang meningkatnya kejahatan siber akan semakin dimungkinkan akibat tidak meratanya pengusaan teknologi, pemahaman keamanan teknologi informasi, dan faktor ekonomi.
Anggota masyarakat yang tidak taat pada PSBB juga bisa dikenakan pidana. Pasal 93 juncto Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan mengancam pidana maksimal satu tahun dan/atau denda Rp 100 juta. Namun, ketentuan pidana ini tidak boleh serta merta diberlakukan mengingat tidak mematuhi PSBB harus terbukti jelas dari pengetahuan pelaku atas risiko perbuatannya membahayakan kesehatan bersama.
Terus Berharap
Dua kondisi baik pra maupun pasca penetapan PSBB sama-sama tidak menguntungkan masyarakat. Tapi apa boleh buat, kondisi darurat kesehatan masyarakat telah ditetapkan pemerintah demi kesehatan bersama. Tren angka positif dan kematian akibat Covid-19 memang terus meningkat. Namun jangan lupa, ada angka berwarna hijau di sana, angka pengharapan: pasien sembuh.
Pemerintah pusat maupun daerah tak henti memberikan info perkembangan terbaru, terutama pasien sembuh total. Pesanya, masih ada pengharapan untuk kembali normal. Indonesia bisa seperti Wuhan, kembali normal dan merajut kehidupan seperti semula. Untuk itu butuh waktu; waktu itu pun proses untuk bersabar dalam kondisi WFH.
Mari hargai perjuangan pemerintah, secara khusus tenaga medis di garis depan melawan Covid-19. Lihatlah, mereka berada di sana bukan sekadar iba atau pun taat pada sumpah kedokteran. Mereka di sana menyuarakan satu pesan penting bagi kita semua, bahwa ada harapan untuk Indonesia bebas Covid-19!
(mmu/mmu)
Sumber: detik.com