Disabilitas Bukan Berarti Tak Kompeten hayuning February 3, 2020

Disabilitas Bukan Berarti Tak Kompeten

Cerita Sri Andiani, Role Model Tuli yang Gigih Berusaha
Berbeda bukan halangan untuk tetap meraih cita-cita. Dengan dukungan keluarga dan kerja kerasnya, Sri Andiani berhasil menggapai mimpi. Namanya ada di jajaran role model tuli dan gangguan pendengaran Kementerian Kesehatan 2019.
Seperti sebagian besar sebayanya, Dian -sapaan Sri Andiani- disibukkan dengan bekerja. Perempuan kelahiran 30 Agustus 1995 itu adalah consulting assistant di lembaga konsultasi dan sumber daya manusia di Surabaya. Ada cerita unik yang menyertai perjalanannya meraih profesi itu. Mirip dengan cerita pelamar kerja lain, dia pernah gagal.
Dian mengirim surat lamaran dan curriculum vitae ke banyak perusahaan. ‘Saya dulu bikin dua versi. Satu dengan keterangan kalau saya tuli, satunya lagi nggak,’ kenangnya. Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Surabaya itu sadar, kalangan dengan disabilitas masih sering dianggap sebelah mata. Padahal, mereka juga kompeten. Tidak kalah oleh mereka yang terlahir normal. ‘Yang diterima yang enggak mencantumkan (disabilitas, Red),’ kata sulung di antara tiga bersaudara itu.
Setelah lolos dari tahap administrasi, Dian melalui tahap wawancara. Di situlah dia berterus terang. ‘Mereka kaget. Tapi, alhamdulilah, saya diterima,’ tutur dia.
Dian mengakui, disabilitas -baik tuli, tunanetra, maupun tunadaksa- sering menjadi sandungan ketika melamar kerja. ‘Begitu tahu tuli, orang-orang lagnsung berasumsi, kalau tuli gimana komunikasinya? Pasti enggak bisa diajak komunikasi. Tapi, mereka enggak pernah mencoba mengajak ngobrol,’ tegasnya.
Bagi penggemar Harry Potter tersebut, anggapan itu perlu diubah. Sebab, menurut dia, komunitas tuli dan gangguan pendengaran tetap bisa berkomunikasi. ‘Kita perlu lihat orangnya. Apa yang membuat dia sulit berkomunikasi,’ lanjut Dian. Misalnya, lingkungan sekitarnya terlalu bising sehingga ‘menutup’ suara obrolan. Atau, bahasa terlalu rumit dan menggunakan istilah yang jarang dipakai sehari-hari. Hal-hal tersebut memengaruhi komunikasi.
Keberhasilan Dian hidup mandiri jelas tidak terlepas dari keuletannya. Dia menempuh pendidikan di sekolah umum plus masa SMA di sekolah inklusi. ‘Mulai sulit waktu masuk SD. Soalnya banyak bahasa akademis, bahasa seperti di buku yang jarang dipakai sehari-hari,’ kenangnya. Misalnya, kata ‘berbakti’ atau ‘mengabdi’ dinilai Dian sulit dipahami di awal belajar.
Sinta Nursimah, sang mama, mengajarkan kata-kata baru di rumah. Pelajaran di sekolah diulangi di rumah. ‘Ikut les juga, tapi fleksibel. Kalau susah atau mau ujian, biasanya ikut,’ kata Dian.
Di bangku kuliah, dia menerapkan hal tersebut. Mengulang materi di rumah dan berdiskusi dengan teman di luar kelas jadi kunci keberhasilannya. ‘Alhamdulillah, kuliah saya dapat beasiswa penuh. Lulus 3,5 tahun,’ ungkapnya. Wow, hebat!
Kegigihan itu tidak cuma mengantar Dian amndiri. Dian mendapat apresiasi dari Komite Nasional PEnanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT). Tahun lalu namanya masuk di antara 11 penerima Role Model for the Deaf Hard of Hearing Awards dalam acara The 2nd Sound Hearing 2030 World Congress di Bali.
Dian meraih penghargaan tersebut bersama pendiri Thisable Angkie Yudistia, dosen Universitas Mercu Buana Rachmita Maun Harahap dan banyak tokoh tuli lain. ‘Buat saya, hal itu menunjukkan bahwa orang-orang dengan gangguan pendengaran dan tuli bisa berprestasi,’ tegasnya. Dia berharap hal tersebut bisa mengubah stigma publik.
‘Agak tersinggung ketika apa-apa serba dibantu karena kasihan. Sedikit-sedikit dijelaskan. Padahal, saya paham. Kami bisa dan mampu kok,’ jelas Dian. Dia berharap kalangan difabel lebih diterima. Dengan begitu, mereka berkesempatan mewujudkan cita-cita dan mendapatkan pekerjaan. (fam/c11/nda)
Sumber: Jawa Pos, 29 Januari 2020