Segera Move On dari Kecewa fadjar June 24, 2019

Segera Move On dari Kecewa

”Belajar Bersama” Menghadapi Tahun Pelajaran Baru

Kini nilai tinggi dan prestasi seabrek bukan jaminan masuk sekolah favorit. Usaha keras di jenjang sebelumnya seakan dimentahkan peraturan baru. Alhasil, mimpi melanjutkan studi di SMP dan SMA negeri idaman harus dikubur.

MOMEN penerimaan peserta didik baru (PPDB) selalu penuh cerita. Khususnya tahun ini. Nilai rapor dan prestasi tidak lagi jadi pertimbangan utama, berbeda dengan tahun sebelumnya. Bagi banyak calon siswa, hal itu jelas mengecewakan. Menurut psikolog Asteria R. Saroinsong SPsi, perasaan tersebut alami dan wajar. ”Nggak masalah sedih atau terpuruk, yang penting tidak berlarut-larut. Harus segera move on,” tegasnya. Orang tua maupun anak, menurut Asteria, tidak perlu saling menyalahkan atau marah. Wakil ketua Yayasan Advokasi Sadar Autisme (ASA) itu menegaskan, kedua pihak harus mau menerima kondisi terlebih dulu. Lalu, selesaikan masalah dengan komunikasi yang baik.

Asteria menyatakan, orang tua dan anak perlu segera memikirkan solusi jangka panjang. ”Karena anak sudah masuk masa remaja, ajak diskusi. Orang tua tidak boleh memutuskan sendiri,” sarannya. Psikolog di Layanan Psikologi Bijaksana tersebut menilai, orang tua dan anak perlu bekerja sama untuk menemukan sekolah yang terbaik.

Psikolog Nurlita Endah Karunia MPsi menambahkan, orang tua dan anak perlu mempertimbangkan opsi yang terbaik. Meski sekolah-sekolah yang bisa dipilih kian terbatas. ”Siapa pun pasti mau ke sekolah terbaik, tapi juga siapkan alternatif yang baik pula,” urai dosen Universitas Surabaya itu.

Setiap pilihan, lanjut dia, membutuhkan pertimbangan yang masak. Dia menyarankan orang tua bersama anak menyeleksi profil sekolah yang potensial. ”Jangan berpikir pokok ketrima saja,” tegas Lita. Dalam hal tersebut, banyak cara mengenal calon sekolah. Misalnya, mengunjungi situs resmi sekolah, mengunjungi sekolah, maupun bertanya kepada saudara atau kerabat yang pernah bersekolah di sekolah tujuan.

Lita menjelaskan, tahapan tersebut bisa menumbuhkan semangat pada orang tua maupun anak. Selain itu, calon siswa bakal mengetahui karakter khas sekolah. Intinya, memunculkan mood positif. ”Misalnya, di SMA A, pelajarannya bagus, tapi ekstrakurikulernya terbatas. Anak bisa mencari klub di luar sekolah. Kalau jaraknya jauh, solusinya mungkin antar jemput,” tuturnya.

Lita dan Asteria mengungkapkan, ”drama” memilih sekolah memang akan menimbulkan rasa kecewa. Meski begitu, ada efek positif jika mampu ditangani dengan baik. ”Anak bisa belajar, mendapat sesuatu itu tidak mudah. Harus struggle dan pandai-pandai mencari alternatif,” papar Asteria. Lita menambahkan, pada kondisi begini, mental bertahan dan pantang menyerah juga akan ditempa. (fam/c25/nda)

Jawa Pos, 21 Juni 2019