Dialog Lintas Agama: Lawan Intoleransi Dengan Saling Mengenal fadjar April 10, 2019

Dialog Lintas Agama: Lawan Intoleransi Dengan Saling Mengenal

Dengan berlandaskan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, terlihat jelas bahwa agama adalah aspek kehidupan yang tidak terpisah dari kehidupan kita sebagai Warga Negara Indonesia. Meskipun hanya enam agama yang diakui, Indonesia pun memiliki ratusan kepercayaan lain yang dianut secara pribadi oleh masing-masing suku dan budaya. Dalam rangka memahami keberagaman agama, maka dilakukanlah Dialog Lintas Agama pada tanggal 28 Maret 2019 lalu. Bertempatkan di PF lantai 6, acara yang mengundang Gus Aan Anshori sebagai salah satu aktivis Jaringan GUSDURIAN dan Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) ini dihadiri setidaknya 300 mahasiswa/I Ubaya yang mengambil Mata Kuliah Umum Agama. Acara ini dihadiri setidaknya enam perwakilan Agama, yakni: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

“Bagi saya dialog itu level tertinggi dari diskursus / komunikasi seseorang. Dialog itu indah karena ujungnya jelas,” ungkap lelaki berkacamata yang kerap dipanggil Gus Aan ini. Ia pun menjelaskan perbedaan antara dialog antar agama dan debat antar agama yang kerap kali disaksikan di Platform Youtube. Ia menjelaskan bahwa debat cenderung mencari benar-salah, sementara dialog bertugas mencari titik temu. “Dialog itu unik karena memaksa pihak yang terlibat untuk tetap rendah hati,” jelasnya. Ia adalah narasumber tunggal yang membuka awal acara Dialog Antar Agama ini.

Dalam materinya, Ia menjelaskan bagaimana proses sebuah paham radikal dalam setiap agama bisa terbentuk. Pemahaman radikal ini muncul karena kurangnya sebuah interaksi. “Pelabelan negatif dimunculkan dari bias yang diajarkan secara berulang ulang,” tuturnya. Ungkapan bahwa ‘agamaku-adalah-yang-paling-benar’ adalah salah satu kontributornya. Oleh karena itu Ia sangat mengapresiasi dialog-dialog seperti ini, karena baginya, dialog adalah sesuatu yang mampu menggeser pelabelan negatif tersebut. Acara diikuti dengan antusiasme yang tinggi dari mahasiswa. Beberapa pertanyaan yang bernada penasaran dan mengkritisi pun dilontarkan. “Berproses melawan intoleransi bukanlah sesuatu yang bisa dikhotbahkan saja, namun harus dilakukan dan disebarkan,” tutup Gus Aan dengan ramah. (sml)