Siaga Bencana dimulai Dari Keluarga fadjar January 28, 2019

Siaga Bencana dimulai Dari Keluarga

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Indonesia dikepung bencana, demikian salah satu headlinemedia terkait dengan rentetan bencana alam yang terjadi di Indonesia. Gempa Lombok (Agustus 2018), gempa dan tsunami Palu-Donggala (September 2018), tsunami Banten-Lampung (Desember 2018), longsor Sukabumi (Januari 2019), longsor dan banjir bandang di Gowa (Januari 2019), angin kencang di Lombok (Januari 2019), serta beberapa bencana lain yang belum terpublikasi secara nasional menunjukkan bukti Indonesia memiliki riskyang tinggi terkait bencana.

Indonesia memiliki riskyang tinggi tidak terlepas dari komponen hazardsyang tinggi serta exposureyang terjadi. Riskyang tinggi ditunjukkan dengan dampak kerusakan material, korban jiwa, masalah psikologis, dampak ekonomi, terganggunya fungsi sosial masyarakat. Bencana tidak dapat diprediksi secara pasti terjadinya sehingga masyarakat diharapkan memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana. Kesiapan menghadapi bencana memiliki manfaat pengurangan risiko bencana. Dengan makin meningkatnya kejadian bencana terakhir ini perlu adanya kesadaran masyarakat tentang perubahan paradigma bahwa pengurangan risiko bencana dan penanganan bencana yang selama ini meletakkan tanggung jawab sepenuhnya kepada pemerintah dan badan penanggulangan bencana ataupun pihak luar yang terkait menjadi kesadaran menjadi tanggung jawab setiap keluarga dan komunitas.

Keluarga memiliki peran penting dalam pengurangan risiko bencana karena keluarga adalah struktur masyarakat terkecil pertama yang memberikan sosialisasi kepada setiap anggotanya. Keluarga dapat memberikan sosialisasi pendidikan bencana sejak dini terutama kepada anak-anak. Sosialisasi dapat diberikan dalam bentuk pengenalan potensi bencana, bentuk-bentuk bencana, cara menyelamatkan diri dalam kondisi bencana, cara membuat nyaman secara psikologis, penyiapan tas siaga bencana, cara membuat tenda darurat, dan bagaimana cara melestarikan lingkungan sebagai upaya mengurangi risiko bencana akibat perilaku manusia. Selayaknya pendidikan sopan santun, moralitas, dan religi maka keluarga juga memiliki tanggung jawab memberikan pendidikan bencana kepada setiap anggotanya karena pentingya pendidikan bencana sebagai bentuk modal bertahan hidup dalam kondisi krisis.

Agar pendidikan bencana dalam keluarga dapat dilakukan dengan baik, maka orang tua sebagai agen sosialisasi harus memiliki penguasaan tentang pendidikan bencana yang memadai. Orang tua juga harus aktif mengikuti sosialisasi pendidikan bencana termasuk simulasi siaga bencana. Orang tua juga dapat memanfaatkan berbagai media seperti radio, koran, informasi di Internet yang berkaitan dengan informasi pendidikan bencana. Orang tua harus sadar dan memiliki kemauan untuk belajar dan kemudian menerapkannya kepada anggota keluarga yang lain. Dalam penerapannya orang tua dapat menyampaikannya melalui bahasa tutur kepada anak-anak, melalui dongeng atau cerita bergambar, dan juga melakukan praktik kepada anak-anak.

Pendidikan bencana juga dapat dimulai dari anak-anak. Anak-anak yang telah mendapatkan pendidikan bencana di sekolah ataupun di berbagai organisasi yang diikuti dapat menyampaikan kepada orang tua atau anggota keluarga yang lain karena pada dasarnya anak-anak juga dapat menjadi agen perubahan perilaku setelah mereka mendapatkan pengetahuan dan praktik terutama di sekolah. Kuncinya adalah kesadaran dan kemauan untuk belajar dari siapapun yang memberikan sosialisasi pendidikan bencana.

Adanya keluarga siaga bencana diharapkan dapat meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat dalam mengurangi risiko bencana. Kita hidup di Indonesia dengan hazardsdan exposureyang tinggi terkait bencana. Maka sudah selayaknya kita belajar menyiapkan diri untuk menghadapinya yang dimulai dari setiap keluarga.