Penanganan Bencana Berbasis Prinsip Kemanusiaan fadjar January 9, 2019

Penanganan Bencana Berbasis Prinsip Kemanusiaan

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Pertengahan tahun 2018 hingga awal tahun 2019 Indonesia mengalami beragam bencana sosial dan alam. Dimulai dari kasus bom gereja di Surabaya, gempa bumi Lombok, gempa bumi-tsunami Palu-Donggala, tsunami Banten-Lampung, serta tanah longsor Sukabumi. Bencana-bencana yang terjadi merupakan tragedi kemanusiaan yang mengakibatkan krisis sehingga membutuhkan penanganan. Kebutuhan penanganan dalam kondisi krisis mendorong dilakukannya kegiatan kemanusiaan. Terdapat beberapa prinsip dasar kemanusiaan yang harus diketahui, dipatuhi, dan diterapkan dalam penanganan krisis yang diakibatkan bencana. Prinsip dasar kemanusiaan yang mengacu pada Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang meliputi kemanusiaan, imparsialitas, independensi, dan netralitas.

Kemanusiaan mengacu pada penanganan harus menghormati hakikat dasar kemanusiaan artinya ketika ada manusia yang mengalami penderitaan atau kesulitan harus dibantu atau ditangani. Penanganan harus mampu melindungi kehidupan, kesehatan dan menjamin penghargaan terhadap manusia. Sebagai contoh penanganan krisis bom gereja Surabaya meskipun sebagian besar yang mengalami krisis adalah pemeluk agama Katolik dan Kristen pelaksana aksi kemanusiaan yang berbeda agama tidak boleh melihat sisi agama tersebut sebagai penghalang melakukan penanganan tetapi harus melihat bahwa yang mengalami krisis adalah manusia yang membutuhkan penanganan. Dalam memberikan penanganan juga harus menghormati dan secara sepenuh hati serta sesuai kemampuan dan kewenangan. Dengan demikian penanganan yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif yang lain atau dampak tambahan di luar krisis yang dialami.

Imparsialitas adalah penanganan harus didasarkan pada kebutuhan berdasarkan prioritas pada kondisi yang paling mendesak dan tidak didasarkan pada kondisi perbedaan kewarganegaraan, etnis, agama ataupun perbedaan lainnya. Sebagai contoh penerapan penanganan gawat darurat gempa-tsunami Palu dan Donggala, sesaat setelah bencana dilakukan proses evakuasi dan penyelamatan. Proses tersebut menggunakan beberapa warna tanda yang menunjukkan kondisi penyintas bencana (triage). Tanda warna merah untuk penyintas yang mengalami luka berat/kritis, tanda warna hijau untuk penyintas yang mengalami luka namun masih dapat ditangani secara tidak mendesak, dan tanda warna hitam bagi yang sudah meninggal dunia. Penyintas bencana dengan tanda warna merah harus mendapatkan prioritas penanganan dibandingkan penyintas bencana dengan tanda hijau. Jadi prioritas penanganan didasarkan pada kondisi kekritisan atau kegawatdaruratan.

Independensi yaitu penanganan bencana harus terbebas dari berbagai macam tujuan ekonomi, politik, militer, agama, ataupun tujuan lain yang bukan tujuan membantu itu sendiri. Dalam proses memberikan penanganan tidak boleh mengandung agenda terselubung yang mengatasnamakan kemanusiaan. Sebagai contoh dalam satu penanganan bencana memberikan bantuan tidak boleh bersyarat misalnya penyintas bencana akan dibantu apabila bersedia bergabung atau memilih afiliasi politik tertentu.

Netralitas yaitu penanganan bencana tidak boleh memihak dalam permusuhan ataupun terlibat konflik yang bersifat politik, agama, etnis, ataupun idiologi. Sebagai contoh dalam penanganan penyintas bencana sosial, dalam pelaku penanganan kemanusiaan memiliki pandangan yang berbeda dengan yang dibantu dan memiliki pandangan yang sama dengan pihak lain yang berkonflik harus menjaga netralitasnya dalam proses penanganan kemanusiaan dan tidak terlibat konflik yang terjadi dengan adanya kedasadaran akan prinsip netralitas.

Demikianlah beberapa prinsip kemanusiaan dalam penanganan bencana. Prinsip tersebut dapat diterapkan oleh pekerja kemanusiaan dari berbagai profesi. Penerapan prinsip dasar kemanusiaan diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan efektifitas penanganan krisis sebagai dampak bencana.