Simpan Panik jika Anak Akses Konten Dewasa fadjar November 21, 2017

Simpan Panik jika Anak Akses Konten Dewasa

KOTAK kecil yang berguna dan berbahaya. Begitulah psikolog Dra. Sri Wahyuningsih MKes mengistilahkan gawai. Lantaran kotak kecil itu, anak-anak bisa menyerap berbagai informasi. Tak hanya yang berguna, tapi ada juga konten yang tidak seharusnya mereka lihat pada usia belia.

‘Padahal, mustahil memisahkan anak-anak generasi Z ini dengan gawai,’ ucapnya dalam safari Jawa Pos For Her Tangkis bersama Antangin JRG di Nation Star Academy Surabaya kemarin (17/11).

Itje, sapaan Sri Wahyuningsih, menyatakan, anak-anak yang terlahir pada era akhir 1990-an hingga 2010 besar di tengah lingkungan yang berteknologi canggih. Karena itu, anak-anak zaman now pun sering kali lebih maju ketimbang orang tuanya.

”Solusinya, orang tua harus melek internet. Jangan sampai kalah saing dengan anaknya,” tegas dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya itu. Meski demikian, orang tua tidak perlu khawatir berlebihan. Termasuk ketika anak mulai mengenal istilah maupun konten yang dinilai tidak sesuai usia.

Itje memberikan contoh, anak bertanya arti kata perkosa. Buat anak, itu kata yang asing. Tapi, orang tua sudah mengecap anaknya buka-buka situs nggak bener. Padahal, menurut psikolog spesialis tumbuh kembang itu, konten dewasa bisa didiskusikan baik-baik dengan anak. Tanpa khawatir risi atau dicap tabu. ”Lebih baik anak ngobrol seputar hal itu dengan orang tua daripada dengan temannya, kan? Arahnya lebih jelas,” papar Itje.

Dia menjelaskan, tema seperti hubungan dengan lawan jenis akan selalu muncul ketika anak menginjak usia remaja. Salah satunya pacaran. Menurut dosen yang mengajar sejak 1983 itu, pacaran bukanlah hal yang tabu dibicarakan antara anak dan orang tua. Meski, tidak semua anak terbuka tentang hal seperti itu.

Untuk bunda dan ayah yang bingung mengawalinya, Itje menyarankan mengajak anak menonton sinetron atau film yang membahas hubungan antarlawan jenis. Lihat reaksi anak. Reaksi anak akan beragam. Ada yang cekikikan, pura-pura tidak melihat, atau malah menutup mata. Itu menunjukkan bahwa anak sebenarnya paham. Nah, orang tua jangan langsung merespons keras. ”Ajak anak diskusi, jangan digurui. Orang tua harus memosisikan diri sebagai teman,” saran dia.

Hal itu juga berlaku ketika anak ketahuan mengakses konten dewasa diam-diam. Untuk menghadapinya, bunda dan ayah perlu menata hati lebih dahulu. Jangan langsung mengecap dosa atau nakal. Itje menyarankan, orang tua mengajak anaknya sharing. Tanyakan kenapa melihat, juga bahas sisi baik-buruknya setelah menonton film tersebut.

Berinternet dengan smart dan sehat juga menjadi tema dongeng Kak Nitnit. Dia mengisi sesi dongeng untuk siswa kelas Indash;VI. Bersama boneka Naomi, dia
menceritakan kebiasaan baik saat menggunakan gawai. ”Kalau pakai gawai, sebaiknya di tempat terbuka. Selain itu, jangan terlalu lama dan terlalu dekat jarak lihatnya supaya mata tetap cling-cling!” ucap ibu Naomi. (fam/c6/na)

Jawa Pos, 18 Nov 2017