Harus Berani Bilang Tidak Boleh fadjar October 16, 2017

Harus Berani Bilang Tidak Boleh

Tangkis Bullying dan Kekerasan Seksual di Dua SD

SURABAYA ndash; Road show For Her Tangkis Bersama Antangin JRG berjalan seru kemarin (7/10). Digelar di dua sekolah sekaligus, yakni di SDN Manukan Kulon II dan SDN Wonorejo V Surabaya, anak-anak maupun orang tua sama-sama bersemangat menangkis bullying serta kekerasan seksual pada anak.

Mohammad Yusron alias Kak Ucon dari Gerakan Para Pendongeng untuk Kemanusiaan (Geppuk) Wilayah Jawa Timur membuka sesi dongeng di SDN Manukan Kulon II dengan jenaka. Dia mengajak anak-anak bernyanyi, berkenalan dengan boneka Lala, lalu mulai bercerita tentang Kakek Tulus yang punya peternakan. Hewan ternaknya banyak. Ada sapi, kambing, dan ayam. ”Kakek mau ke pasar ah, beli ayam lagi. Biar nambah koleksi ayamnya,” kata Kakek Tulus suatu hari.

Di pasar, kakek membeli seekor ayam kecil. Di peternakan, ayam kecil ditaruh kandang bersama ayam-ayam lain. Eh, ternyata di dalam kandang tersebut ada ayam bertubuh besar yang bernama Koko. ”Saya Koko, ayam jagoan di sini. Kalian takut nggak sama saya?” kata Kak Ucon sambil mengenakan topi berbentuk ayam.

Koko suka mengganggu setiap ada ayam baru yang datang. Termasuk si ayam kecil yang baru dibeli Kakek Tulus. ”Ada ayam baru, boleh nggak kalau saya ejek? Boleh nggak saya panggil si kurus, si jelek, atau si hitam?” tanya Koko, eh Kak Ucon, kepada anak-anak. Dengan kompak dan lantang, anak-anak kelas 1 dan 2 itu menjawab, ”Tidak boleh!”.

Koko tetap mengganggu si ayam kecil. Kali ini dia merebut makanan ayam kecil. ”Koko kan perutnya besar. Nanti Koko bilang ke ayam lain supaya nggak berteman sama ayam kecil,” kata Koko. Dongeng itu menggambarkan perilaku bullying yang banyak terjadi di kalangan anak-anak.

Kak Ucon mengajak anak-anak untuk berani bersikap tegas ketika mereka diganggu teman. Jika hanya sekali, diabaikan saja. Karena mungkin si teman sedang bercanda. Namun, kalau terus-terusan, si kecil harus berani bertindak tegas. ”Harus berani bilang, ’Tidak boleh! Saya tidak suka!’,” kata Kak Ucon.

Kalimat itu diulang-ulang Kak Ucon dan ditirukan dengan lantang oleh anak-anak hingga mereka memahami pesannya. Jika perundungan berlanjut, mereka bisa melapor kepada bapak atau ibu guru di sekolah atau bunda di rumah.

Cara itu dibenarkan Nurlita Endah Karunia SPsi MPsi, psikolog dan dosen Universitas Surabaya (UBAYA). Kepada bunda dan ayah yang hadir setelah sesi dongeng, dia meminta orang tua mengajarkan metode yang sama kepada anak-anaknya.

Di sisi lain, tema melindungi anak dari kekerasan seksual di SDN Wonorejo V tak kalah hangat. Ketika membekali orang tua, psikolog Dr Elly Yuliandari Msi melemparkan gelas ke lantai. Prang! Gelas itu pecah. ”Seperti itulah anak-anak kita jika mengalami pelecehan seksual. Pasti hancur. Nggak akan kembali utuh. Cara terbaiknya, cegah,” tegasnya.

Elly membahas ragam bentuk kekerasan seksual anak serta dampaknya pada tumbuh kembang si kecil. Pelecehan tak hanya berupa pemerkosaan. Ejekan seperti SGM (semok, gembrot, montok) atau kutilang dara (kurus, tinggi, langsing, dada rata) pun sudah bisa dianggap pelecehan di kalangan anak.

Selain itu, pelecehan seksual terselubung sering dilakukan orang terdekat. Misalnya, kerabat dan tetangga. Elly menuturkan, ayah dan ibu harus berperan aktif. Selain memberikan pendidikan seksualitas, orang tua diharap bisa memberikan reaksi yang tepat ketika anak atau orang terdekat jadi korban kekerasan seksual. (adn/fam/c25/na)

Jawa Pos, 8 Oktober 2017