Pamerkan Budaya Lokal fadjar July 5, 2017

Pamerkan Budaya Lokal

Dunia kreatif terus berkembang. Para mahasiswa pun diajak terus berkreasi. Hal itu dilakukan dua tim mahasiswa Universitas Surabaya (Ubaya) berikut. Terobosan mereka yang mengusung kekayaan budaya lokal patut diapresiasi. (*)

Produk Stationary Nusantara

KEPULAUAN Indonesia yang beragam memberi inspirasi bagi Yulia Fajrin, Sela Dian Pratisna, dan Nurmaziyah Fuaidah. Para mahasiswa dari jurusan informatika program kekhususan multimedia fakultas teknik itu membuat produk stationary tentang Kepulauan Indonesia.

Ribuan pulau di Indonesia punya ragam adat-istiadat yang berbeda-beda. Saking banyaknya, masyarakat jadi kurang mengenal adat-istiadat daerah lain. ‘Nah, kita beri informasi lewat stationary,’ ujar Yulia.

Produk yang dimaksud Yulia beragam. Ada buku catatan mungil, tote bag, kalender, pin dari bahan akrilik, maupun wall decor. Dalam buku notes misalnya. Yulia dan tim mengemas budaya Indonesia melalui Gambar-gambar dibuat sendiri secara digital gambar-gambar alat musik. Alat musik itu digambar sendiri bersama tim. ”Selain visual, bisa untuk edukasi,” katanya.

Salah satu alat musik yang ditampilkan adalah sasando. Ada gambar sasando di setiap sudut lembar buku. Ada juga informasi atau keterangan tentang sasando. Disebutkan, sasando merupakan alat musik petik yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Konon, sasando digunakan masyarakat sejak abad ke-7. Warna terlihat di langit malam. yang banyak dijumpai adalah dongeng ala Disneyland. Kalaupun ada dongeng lokal, dan ungu. Mirip pelangi dan terlihat serasi.

Produk-produk FYI ternyata sangat diminati. Dikemas secara rapi dan profesional, produk stationary karya Yulia dan rekan-rekannya banyak dilirik ketika ditampilkan dalam pameran. Mereka pun mendapat apresiasi. ‘Ketika nanti di dunia kerja, company harus beda dengan yang lain,’ tuturnya.

Keberagaman budaya Indonesia memang harus dikenalkan secara lebih luas. Selain budaya, mereka menyajikan pattern-pattern bunga khas Nusantara. Keong Mas. ‘Kami usung dua cerita yang memiliki tiga bunga nasional. Yakni, melati, raflesia arnoldi, dan anggrek bulan. ”Banyak hal yang bisa dieksplorasi. Kami pilih ragam budaya yang belum banyak diketahui orang,” katanya.

Yang tidak kalah menarik adalah pin akrilik bergambar ikat kepala. Ada banyak jenis ikat kepala khas Indonesia. Salah satunya liskol. Itu adalah ikat kepala yang kerap digunakan pemuda atau remaja Jakarta (abang Jakarta). Liskol digunakan bersamaan dengan beberapa peranti. Jas berkerah model baju Tiongkok lokcan, tutup kepala liskol, hiasan kuku macan, arloji gantung, dan pisau raut. (puj/c6/nda)

Buku Cerita Watercolor

BUKU cerita dekat dengan dongeng ala Disneyland. Kalaupun ada dongeng lokal, rata-rata dengan cerita yang itu-itu saja. Padahal, banyak dongeng dari daerah lain di Indonesia yang tidak kalah menarik.

Berbekal ide tersebut, tiga mahasiswa menggarap sebuah proyek. Mereka adalah Feny Anggorowati Djuprianto, Meliana Maya Sari, dan Jessyca Wulandari. Para mahasiswa jurusan informatika program kekhususan multimedia fakultas teknik itu mendirikan Aurora Studio.

Di bawah payung Aurora Studio, mereka membuat buku cerita. Ada tiga buku cerita volume pertama yang mereka garap. Tiga buku itu berjudul Alung dan Kimo Kajang; Kancil dan Pak Tani; serta Keong Mas. ‘Kami usung dua cerita yang populer dan satu cerita yang kurang populer,’ ujar Feny.

Kebetulan Feny yang banyak berinteraksi dengan anak-anak itu mengenal beberapa dongeng yang kurang populer. Feny melengkapinya dengan riset mengenai dongeng tersebut. Saat bertanya pada anak-anak, mereka rata-rata tidak mengenal dongeng yang dimaksud Feny. Para orang tua ternyata jarang mendongengi putra-putrinya.

Nah, melalui buku yang digagas, Feny dan tim ingin membantu orang tua agar tergerak untuk mendongengi putra-putrinya. Dengan begitu, interaksi orang tua-anak terjalin lebih baik. Selain itu, anak-anak perlu tahu cerita dari berbagai daerah. Agar cerita dari daerah-daerah lain tidak tergerus atau hilang,’ katanya.

Konsep buku tersebut terdiri atas maksimal sepuluh lembar. Buku dikemas simpel dengan deskripsi cerita pendek-pendek. Sasarannya anak usia 3ndash;8 tahun. ‘Supaya tidak susah mencernanya, deskripsi segampang mungkin. Jadi, saat cerita ke anak-anak juga mudah,’ tuturnya.

Yang menarik, setiap buku menggunakan dua bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bukan hanya Feny, Meliana, dan Jessyca mengemasnya dengan gambar ilustrasi buatan sendiri. Untuk pewarnaan, mereka menggunakan cat air atau water color. ‘Karena warnanya lebih bagus, lebih cheerfull, lebih
anak-anak,’ jelasnya.

Dalam pembuatan buku itu, Feny bertindak sebagai ilustrator dan graphic designer, Jessyca sebagai graphic designer dan Meliana mendesain logo, display, maupun packaging.

Tidak kalah penting adalah unsur budaya. Lantaran mengusung kisah zaman dulu, busana tokoh pun menyesuaikan. ‘Cerita pertama dari Kalimantan. Busananya mereka gimana, kita gambarkan di buku sesuai adat,’ papar Feny.

Isi cerita, lanjut dia, tidak mengurangi makna atau pesan aslinya. Feny menyebut isi cerita memang disesuaikan. Pesan positif ditonjolkan, Fenny dan rekan-rekannya berharap nantinya bisa memproduksi cerita-cerita lebih lanjut. (puj/c15/nda)

Jawa Pos 24 Juni 2017