Tidak Mengejar Gelar, lebih butuh pengakuan Masyarakat fadjar July 3, 2017

Tidak Mengejar Gelar, lebih butuh pengakuan Masyarakat

MENITI karir sebagai dosen Ilmu Hukum Tata Negara di Universitas Surabaya (Ubaya), Hesti Armiwulan juga dikenal melalui kiprahnya sebagai aktivis penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Puncaknya, perempuan berhijab ini didapuk menjadi Wakil Ketua Komnas HAM RI periode 2007-2010. Tak heran, ibu dua anak ini sarat akan pengalaman menarik dari sepak terjangnya dalam memperjuangkan penegakan HAM. Berikut kutipan wawancara wartawan Radar Surabaya, Phaksy Sukowati dengan perempuan berhijab yang akrab disapa Hesti itu.

Sebagai dosen Ilmu Hukum Tata Negara sekaligus pemerhati soal HAM, bagaimana ibu memandang soal implementasi penegakan HAM di Indonesia, khususnya di Surabaya saat ini?

Kalau penegakan HAM itu tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang HAM. Menurut saya, semenjak setelah reformasi dari tahun 1999 sampai dengan 2017, keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat dan implementasi demokrasi dan pelaksanaan HAM sudah diberikan. Tetapi, saya meyakini belum semua orang memahami dengan baik tentang apa itu HAM, sehingga sampai detik ini masih ada pro dan kontra tentang HAM. Sehingga penegakkan HAM, menurut saya, rapornya juga masih belum cukup baik, melihat masih banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi. Jadi, kalau bicara penegakan HAM di Indonesia, khususnya di Surabaya, tentu saja hampir sama. Penegakan HAM masih belum maksimal. Khususnya untuk pemenuhan dua hak asasi, yakni tentang hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya. Pemenuhan di dua hal ini masih perlu peningkatan yang harus dilakukan oleh negara.

Ibu tercatat sudah puluhan tahun berkecimpung dan berjuang sebagai aktivis penegakan HAM di lingkup nasional maupun daerah. Nah, menurut ibu, kasus apa yang paling diingat dan membawa kesan mendalam saat turut menanganinya?

Kalau bagi saya, semua kasus yang di dalamnya, saya pernah berpartisipasi menjadi concern yang sangat kuat. Misalnya, kasus pelanggaran hak sipil dan politik. Kasus ini di Indonesia pada hampir setiap wilayah itu pasti ada. Pada kasus di Jawa Timur misalnya, yang pernah saya ikut menangani langsung ialah kasus Syiah di Sampang, Madura. Saya ditunjuk secara langsung sebagai ketua tim untuk menanganinya. Kemudian, kasus berkaitan dengan penemuhan ekonomi sosial budaya misalkan. Kasus transmigran yang ternyata mereka tidak bisa hidup di daerah tempat migrasi yang baru. Kemudian kasus isu hak anak dan hak perempuan yang sesungguhnya Indonesia telah meratifikasi, namun masih banyak ditemukan pelanggaran. Kasus yang lain ialah terkait dengan penanganan kasus kasus yang ditangani aparat kepolisian tentang pelanggaran HAM.

Jadi, kalau bicara soal kasus banyak sekali yang sampai saat ini masih melekat kuat di ingatan kepala saya. Pada intinya adalah ketika saya berada di Komnas HAM, saya menangani berbagai kasus pelanggaran HAM, tetapi tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM. Karena produk hukum yang dikeluarkan Komnas HAM itu hanya rekomendasi. Nah, sehingga kasus-kasus itu di antaranya masih belum diselesaikan secara sempurna. Selain itu, yang masih berada di ingatan saya, persoalan pelanggaran HAM yang ada di Indonesia itu adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang HAM, maka concern saya ialah pendidikan itu lebih penting. Yakni pendidikan tentang pemahaman dan penegakan HAM. Hal itulah yang menjadi concern saya yang harus dikembangkan setelah saya belajar banyak dari pengalaman di komnas HAM.

Ibu beberapa tahun terakhir juga dipercaya menjadi bagian dalam BNPT-FKPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris-Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme) Jawa Timur. Nah, bagaimana ibu menanggapi isu deradikalisasi yang mengancam generasi muda di Indonesia ini?

Kalau menurut saya, memperhatikannya seperti ini. Pertama ini kan soal zaman yah. Nah, zaman sekarang ini yang sudah bergeser dan sangat jauh berbeda dengan era beberapa puluh tahun lalu. Hal itu ditandai oleh keterbukaan informasi dan globalisasi yang luar biasa. Kita tidak bisa membatasi pergaulan anak sesuai yang kita kehendaki sebagai orang tua. Jadi, menurut saya, sebelum orang-orang ramai bicara bahwa ‘saya Pancasila’ bertepatan momen Hari Kesaktian Pancasila, sedangkan kalau kita sebenarnya telah membahas itu sejak jauh-jauh hari. Persoalan bangsa dan negara itu sebenarnya akan selesai kalau kita melakukan pendidikan karakter dengan baik. Jadi, bicara tentang radikalisme, terorisme ataupun paham-paham lain yang tidak sesuai dengan tatanan nilai dalam berbangsa dan bertanah air di Indonesia itu, bisa terselesaikan bila ada edukasi tentang karakter bangsa ini melalui pemahaman tentang Pancasila itu. Maka, sebelum muncul banyak istilah, Saya Indonesia, Saya Pancasila, sebenarnya kami sudah memiliki concern bahwa penyelesaian terhadap bangsa dan negara ini adalah bagaimana membunyikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Nah, terkait isu deradikalisasi juga seperti itu. Tidak mungkin kita hanya menyerahkan isu dan kasus ini kepada pihak kepolisian atau Densus 88, artinya hanya penindakan. Tidak bisa hanya kita lakukan represif atau penindakan. Maka perlu dibangun juga tindakan preventif dengan membangun kesadaran seluruh generasi muda tentang apa itu kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sekarang ini sudah tidak ada lagi pendidikan yang bisa meberikan pemahaman tentang karakter bangsa yang sesuai tatanan. Semua mencari nilai-nilai dengan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, saya sangat sepakat untuk membangun kesadaran tentang bahaya radikalisme di tengah anak-anak muda. Saya menyambut baik ketika BNPT membentuk adanya FKPT, sehingga ada peranan publik untuk turut berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan penanggulangan terorisme ini.

Namun, kini ibu juga telah sekian tahun berkiprah di penegakan HAM (Komnas HAM) sekaligus Penanggulangan Terorisme (BNPT FKPT Jawa Timur). Bila disuruhsebagai dosen. Lantas, apa pencapaian pribadi ibu yang ingin diraih atau belum kesampaian hingga sejauh ini?

Begini, kalau saya jadi dosen itu kan ada tiga bidang yang harus dipenuhi, atau yang biasa dikenal dengan Tri Dharma Perguruan tinggi, yakni pendidikan serta pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sepanjang apa yang saya lakukan itu masih berkorelasi dengan keilmuan saya serta posisi saya sebagai dosen, maka akan saya kerjakan. Namun, bila tidak berkorelasi dengan main job saya sebagai dosen, saya akan lebih memilih mengajar sebagai dosen. Namun, kalau berbagai kegiatan itu masih berhubungan dengan kegiatan saya sebagai dosen, itu tidak bisa dipisahkah sekaligus tidak bisa dipilih. Sebenarnya saya banyak ditawari untuk mendapatkan job atau lelang jabatan yang cukup menjanjikan. Contoh misalkan, saya ditawari ikut lelang jabatan untuk menjadi Dirjen atau staf ahli. Untuk hal ini, saya memilih tidak. Saya berani mengatakan untuk memilih tidak karena bila saya aktif disitu, maka kegiatan pendidikan tidak bisa aktif saya lakukan. Kalaupun saya memilih iya, berarti sama saja saya sudah keluar dari cita-cita yang sudah pernah saya angan-angankan sejak dulu. Jadi, cita-cita saya ialah menjadi dosen dan saya bisa memberikan sumbangsih di dunia pendidikan secara maksimal dan saya menginginkan itu bisa saya capai sampai saya paripurna.

Pertanyaan terakhir untuk ibu, cita-cita ibu sudah diraih sebagai dosen. Lantas, apa pencapaian pribadi ibu yang ingin diraih atau belum kesampaian hingga sejauh ini?

Ya. Cita-cita dari awal saya pribadi ialah sebagai pendidik. Usia saya sudah di kepala lima. Saya ingin memberikan sumbangsih terbaik bagi masyarakat. Lantas, sebagai pendidik tentu harus ada klimaknya. Nah, klimaks itu adalah untuk jenjang karir sebagai pendidik itu meraih prestasi tertinggi. Sedangkan prestasi tertinggi di bidang pendidikan itu adalah meraih guru besar di bidang ilmu hukum. Nah, sebagai pencapaian terakhir dari cita-cita profesi saya sebagai pendidik tentunya saya harus bisa meraih gelar guru besar. Tetapi motto hidup saya sebetulnya, saya tidak mengejar gelar, tapi saya menginginkan suatu pengakuan dari masyarakat bahwa saya layak menjadi pendidik yang telah mencerdaskan pendidikan bangsa. Sedangkan gelar itu ibaratnya adalah sebuah penghargaan tambahan karena saya memiliki kompetensi di bidang itu. (*/opi)

Jawa Pos, 11 juni 2017