SURABAYA ndash; Seorang pakar farmasi tidak harus selalu menjadi pelayan yang bekerja di balik meja apotek. Jeli membaca situasi, seorang farmasis bisa memulai bisnis. Membuka kreativitas dalam berbisnis dilakukan Sari Kusumahati. Melalui bukunya yang berjudul Pharmacist Entrepreneur, ibu dua putra tersebut mengajak rekan sejawat untuk merambah karir sebagai pengusaha.
”Banyak pelaku bisnis jamu, healthy food, klinik, dan lain-lain bukan dari latar belakang farmasi. Mereka saja bisa sukses, kenapa kami yang sudah ada basic malah tidak jeli melihat peluang itu,” ucapnya saat ditemui ketika launching buku pertamanya di The Localist Coffee and Bistro kemarin (22/4).
Sari merupakan lulusan Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. Dia kemudian menempuh pendidikan profesi sebagai apoteker. Dia mengawali karir pertama sebagai apoteker pada 1998ndash;2009. Setelah itu, Sari bekerja di klinik kecantikan hingga 2011.
Pada rentang waktu tersebut, Sari menjalani profesi sebagai trainer kewirausahaan yang spesifik pada pengembangan potensi herbal dalam bentuk ekstrak. ”Dari situ saya sudah mulai melirik dan belajar wirausaha. Setelah itu, pada 2012 saya terjun ke bisnis dengan membuat produk dari ekstrak kulit manggis,” terangnya.
Keberhasilan tersebut mendorong Sari menjadi konsultan dan trainer ekstrak untuk perorangan serta mengembangkan kewirausahaan untuk perempuan perempuan pengajian dan PKK. Berbagai pameranpun dilakoni untuk branding produk. Hingga pada 2015, Sari mendapatkan penghargaan sebagai wirausaha pemula di Jawa Timur dari Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah. Berkat pencapaian itu, dia mendapat modal Rp 15 juta untuk mengembangkan usahanya.
Cerita kesuksesan Sari dituangkan dalam sebuah buku yang berisi 76 halaman. Sari menyusun buku itu selama kurang lebih tiga bulan. ”Buku ini padat. Berisi pengalaman saya hingga tip memulai usaha, terutama di bidang farmasi,” tambahnya.
Menurut dia, bisnis farmasi meliputi tiga hal. Yakni, distribusi, pelayanan, dan produksi. Dia menilai sebagian besar lulusan farmasi hanya memberikan pelayanan. ”Mereka tidak melirik peluang yang lain. Selama sekolah, farmasis hanya dilatih untuk mengasah kecerdasan intelektual kuadran kiri yang meliputi berpikir logis matematis dan dibayangi undang-undang. Karena itu, segi kreativitas dan inovasi jadi tumpul,” paparnya.
Bagi dia, mengubah mindset karyawan menjadi entrepreneur membuat hidup menjadi luar biasa. ”Potensi bisnis di bidang kesehatan itu pasti. Sampai kapanpun orang akan butuh sehat,” tuturnya.
Meski optimistis merangsang rekan sejawatnya untuk menjadi pengusaha, perempuan kelahiran Jakarta, 13 Mei 1972, itu tidak menampik kemungkinan kegagalan. (esa/c7/nda)
Sumber: Jawa Pos