Oleh: Hazrul Iswadi
Sepanjang kehidupan akademik kita di sekolah, beberapa kali kita dihadapkan pada perubahan yang niscaya kita hadapi yaitu perubahan dari sekolah dasar ke sekolah menengah, sekolah menengah ke perguruan tinggi, dan dari perguruan tinggi ke lingkungan bekerja. Perubahan itu meliputi beragam dimensi dalam kehidupan kita seperti lingkungan fisik yang baru, lingkungan sosial yang baru, cara berfikir yang baru, pemahaman masalah yang baru, dan orang-orang terdekat yang mempengaruhi proses belajar kita yang juga baru seperti guru, dosen atau mentor yang baru.
Dari pengalaman penulis sebagai pengajar matematika di perguruan tinggi, fenomena transisi tersebut tertangkap ketika mengajar mata kuliah-mata kuliah dasar matematika di tahun pertama. Beberapa mahasiswa tidak mengalami kendala dalam menyesuaikan diri, sedangkan banyak juga di antara mahasiswa tahun pertama yang kesulitan dalam mengikuti cara belajar matematika di perguruan tinggi. Juga ada beberapa mahasiswa yang memerlukan waktu untuk memahami tuntutan dan cara belajar matematika di perguruan tinggi, tapi akhirnya mereka juga mampu untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Bagi mahasiswa yang tidak mengalami kendala dalam menyesuaikan diri untuk mengikuti cara belajar matematika di perguruan tinggi terungkap bahwa mereka sudah terbiasa mengerjakan matematika di sekolah menengah dengan cara yang kurang lebih sama dengan cara mengerjakan metematika di perguruan tinggi. Mereka kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah favorit yang mengajarkan matematika ke siswa mereka dengan teliti dan tuntutan yang tinggi.
Belajar matematika dengan tindakan diterjemahkan oleh sekolah-sekolah favorit itu dengan kewajiban untuk siswa mereka mengerjakan pekerjaan rumah matematika dengan target tertentu. Beberapa sekolah favorit tersebut mengajarkan matematikad dengan teliti lengkap dengan proses pembuktian yang mendukung pemahaman siswa mereka terhadap masalah matematika. Sekolah-sekolah tersebut sadar bahwa pengajaran matematika yang mereka ajarkan haruslah dapat menjadi jembatan bagi anak-anak didik mereka untuk dapat mengerti mata kuliah-mata kuliah matematika di perguruan tinggi dengan baik. Tidak jarang sekolah-sekolah tersebut membuat buku, modul, atau lembar kerja matematika sendiri untuk dapat mengakomodasi keinginan mereka di atas. Hal itu bisa juga karena buku-buku pelajaran yang ada di pasaran tidak dapat diandalkan untuk memenuhi keinginan tersebut.
Beberapa mahasiswa yang kesulitan untuk mengikuti proses belajar matematika di perguruan tinggi antara lain karena kaget dengan cara belajar di dalam kelas dan di luar kelas yang berbeda jauh dengan apa yang mereka alami sebelumnya di tingkat sekolah menengah. Beberapa mahasiswa tidak mampu untuk memenuhi tuntutan untuk mengerjakan latihan soal matematika secara mandiri. Mereka tidak mampu untuk menyelesaikan masalah matematika dari buku-buku teksbook yang menjadi acuan pada mata kuliah matematika. Kebanyakan mereka terbiasa untuk memahami dan mengerti soal matematika sebatas pada soal-soal yang telah dikerjakan atau soal-soal latihan yang ada di slide presentasi dosen. Mereka tidak sadar bahwa berlaku rumus baku dalam proses belajar mahasiswa di perguruan tinggi bahwa 1 sks yang diambil berarti 1 jam tatap muka, 1 jam kerja mandiri terstruktur, dan 1 jam mandiri yang tidak terstruktur. Mereka menjadi tergagap dengan kebebasan belajar mahasiswa dan dosen dalam proses belajar matematika di perguruan tinggi.
Mereka menjadi tidak siap dalam mengikuti perkuliahan yang dilaksanakan di kelas dengan tidak serapih dan terstruktur seperti yang selalu mereka dapatkan di sekolah menengah. Di perguruan tinggi, pengajaran matematika tidak harus mengacu pada satu buku teksbook, seringkali dengan menyadur bagian-bagian tertentu dari beberapa teksbook sekaligus yang kemudian dirangkai menjadi satu dalam tampilan slide presentasi. Dosen memiliki kebebasan yang lebih luas dalam menentukan teknik penyajian dan alat-alat pendukung untuk pembelajarannya. Banyak dosen mempersiapkan kuliah dalam bentuk slide presentasi dan irit dalam menuliskan materi di whiteboard. Kalaupun dosen menulis di whiteboard, seringkali yang ditulis adalah hal-hal yang dirasa paling penting saja atau penyelesaian soal latihan. Sehingga sangat sedikit sekali proses mencatat pelajaran seperti biasa dilakukan di sekolah menengah dan catatan yang dituliskan di whiteboard tidak terstruktur.
Hal lain yang seringkali menjadi kendala yang dirasakan mahasiswa tahun pertama dalam belajar matematika di perguruan tinggi adalah perbedaan dari segi konten. Konten matematika di perguruan tinggi di turunkan dari kurikulum yang sangat terkait dengan program studi yang dipilih mahasiswa untuk berkuliah. Contoh matematika untuk mahasiswa teknik akan berbeda dengan matematika untuk mahasiswa farmasi dan tentu juga akan berbeda dengan matematika untuk program studi matematika sendiri. Di sekolah menengah perbedaan konten matematika untuk jurusan-jurusan yang ada tidak terlalu tajam dibandingkan dengan perguruan tinggi. Contoh dari segi materi adalah fungsi trigonomotri di matakuliah matematika farmasi tidak disinggung dengan dalam, sedangkan di mata kuliah matematika untuk mahasiswa teknik disinggung dan diajarkan dengan dalam. Penekanan yang berbeda tersebut membutuhkan fokus mahasiswa yang berbeda-beda. Apa-apa yang mereka telah pelajari di sekolah menengah menjadi terpecah-pecah dan dikelompokkan dengan dengan cara yang berbeda di mata kuliah perguruan tinggi.
Salah satu hal yang juga menjadi kendala bagi mahasiswa tahun pertama dalam belajar matematika adalah pendekatan dan cara pengorganisasian materi belajar di perguruan tinggi yang dikarenakan oleh titik pandang pengajar. Sebagian besar pengajar di perguruan tinggi atau dosen adalah para peneliti yang aktif dalam bidang keahliannya. Hal ini tidak banyak terjadi untuk guru di sekolah menengah. Sebagai peneliti pada suatu bidang tertentu maka dosen juga terpengaruh dengan bidang keahlian yang ditelitinya. Sehingga terkadang dosen secara sadar atau tidak sadar mengajarkan matematika mengikuti prespektif penelitian yang ditekuninya. Dalam beberapa kesempatan dosen terkadang tidak memberikan motivasi dan aplikasi yang cukup ketika akan memberikan suatu materi mata kuliah tertentu karena mengetahui bahwa materi yang akan diajarkannya secara generik pasti sangat penting. Hal itu bisa jadi karena sang dosen mendapati kenyataan bahwa dalam segenap aktifitas penelitiannya selalu membutuhkan konsep dan pengertian tentang materi yang akan diajarkannya tersebut. Sang dosen lupa bahwa intensitas “kepentingan” terhadap materi tersebut tidak sama seperti yang dialami oleh para mahasiswanya.
Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi gap yang terjadi antara cara belajar di perguruan tinggi dengan sekolah menengah? Jawabannya adalah kedua belah pihak, baik sekolah menengah maupun perguruan tinggi, mengupayakan gap tersebut menjadi tidak lebar dan terjadi transisi yang mulus dari pengalaman menjadi siswa menjadi pengalaman menjadi mahasiswa dalam hal belajar matematika. Sekolah menengah bisa sedikit banyak mengadopsi cara belajar matematika di perguruan tinggi untuk membuka jembatan antara matematika sekolah menengah dengan matematika perguruan tinggi. Kemudian pihak perguruan tinggipun juga dapat meneruskan jembatan yang telah dirintis tadi untuk menjadi utuh sehingga siswa menjadi tidak gagap belajar matematika. Selalu memberikan motivasi baik dalam aplikasi ataupun koneksi dengan materi yang pernah didapatkan di sekolah menengah adalah beberapa hal yang dapat dilakukan oleh dosen untuk memberi kesempatan mahasiswa menjalani transisi yang mulus di pembelajaran matematika perguruan tinggi.