Dana Pendidikan Pemprov hanya Rp 2 Triliun, Cukupkah untuk Semua Sekolah se-Jatim? fadjar August 9, 2016

Dana Pendidikan Pemprov hanya Rp 2 Triliun, Cukupkah untuk Semua Sekolah se-Jatim?

SURYA.co.id | SURABAYA – Dinas Pendidikan Pemprov Jatim maupun level kabupaten/kota harus mulai mempersiapkan diri sambil menunggu proses peralihan kewenangan pendidikan menengah yang sedang ditinjau Mahkamah Konstitusi.

‘Sambil menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi itu, pemerintah provinsi bersama Komisi E DPRD Jatim sudah rapat bersama, ancang-ancang,’ kata Agatha Retnosari, anggota Komisi E DPRD Jatim usai mengisi diskusi ‘Peralihan kewenangan pendidikan menengah: dampak dan posisi hukum’ di auditorium Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Senin (8/8/2016).

Menurut dia, kalau keputusan MK menolak permohonan Pemkot Surabaya dan Pemkot Blitar maka Pemprov Jatim sudah siap mengambil alih tanggung jawab dari kota/kabupaten.

Maka dari itu sudah mulai dihitung-hitung anggarannya berapa, kemudian gaji gurunya, asetnya, sudah mulai berjalan saat ini.

‘Kemudian dari reses ini kami juga baru tahu sekolah inklusi atau SLB juga menjadi tanggung jawab provinsi, saat ini belum ada pembicaraan secara spesifik terkait hal itu. Akan saya tanyakan lebih detail untuk sekolah-sekolah itu tadi,’ jelasnya.

Agatha menerangkan, peralihan itu tentunya akan membuat perubahan anggaran, yang tadinya di kabupaten ke provinsi.

‘Selama ini anggaran pendidikan yang diajukan ke provinsi hanya sekitar Rp 2 triliun, sementara kabupaten/kota butuh anggaran pendidikan sekitar Rp 290 miliar. Untuk itu tentu ada perubahan pengajuan anggaran pendidikan untuk provinsi jika terjadi pengalihan, entah berapa,’ paparnya.

Ia menambahkan, sementara ini persiapan apakah mungkin biaya gaji tenaga kerja guru akan dilimpahkan ke provinsi itu masih dinegokan, sudah mulai berjalan dan ditata, MoU mulai September.

‘Keputusan MK jatuh nanti Desember, karena efektifnya Undang-undang 23 tahun 2014 per 1 Januari 2017,’ tambahnya.

Sementara itu, akibat lamanya pemeriksaan perkara ini di MK, sejumlah orangtua, guru, dan murid mulai resah.

Edward Dewarucci, Direktur Surabaya Children Cisis Center, menyebutkan, mereka resah karena peralihan ini akan mengubah beberapa kebijakan.

Salah satunya adalah sekolah gratis yang sudah dilangsungkan di beberapa kabupaten kota seperti Surabaya.

‘Wajar ada kebijakan yang berubah, atau fasilitas yang dinikmati sekarang kemudian hilang,’ ujarnya.

Kepala Bidang Dinas Pendidikan Menengah Kejuruan, Sudarminto, menyebut, selama ini pihaknya mengacu pada Undang-undang Sisdiknas 2003 spesialis pendidikan.

‘Tentu ini perlu dikordinasi lagi karena ada beberapa pasal yang bertentangan. Kalau undang-undang Sisdiknas menjadi tanggung jawab daerah, sementara dalam Undang-undang tahun 23 pada lampiran, menjadi tanggung jawaban provinsi. Jadi sebaiknya ini juga dijelaskan lagi supaya tidak tumpang tindih,’ katanya.

‘Apapun keputusannya, SMA dan SMK juga tidak akan digotong kemana (masih tetap di Surabaya), jadi kami sebagai dinas kabupaten terkait akan tetap membantu,’ tambahnya.

Inge Christanti, peneliti Pusham Ubaya, berharap, keputusan MK nanti tidak mengebiri hak masyarakat Indonesia.

‘Karena memaksakan instrumen, itu melanggar hak asasi kebutuhan mendasar dari masyarakat,’ tegasnya.

Sumber: https://surabaya.tribunnews.com

Tunggu Putusan MK Tentang UU 23/2014
Anggaran Dikmen tetap Dirancang Dispendik Surabaya

Surabaya (beritajatim.com) ndash; Sembari menunggu keputusan Mahkamah Konstitutsi (MK) untuk membacakan putusan atas pengujian UU 23/2014 tentang pemerintah daerah (Pemda) yang diajukan oleh empat walimurid asal Surabaya.

Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya akan terus memproses penganggaran dan akan tetap berancang-ancang mengajukan anggaran bagi pendidikan menengah (Dikmen) untuk tahun 2017.

‘Proses penganggaran Dikmen tetap dilakukan Dispendik Surabaya, hal ini untu berjaga-jaga kalau MK mengabulkan permohonan wali murid Surabaya,” kata Kepala Bidang (Kabid) Pendidikan Menengah dan Kejuruan (Dikmenjur) Dispendik Surabaya, Sudarminto saat ditemui disela-sela diskusi publik pengalihan kewenangan penyelenggaraan pendidikan menengah yang digelar Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Surabaya (Ubaya) dan DPRD Jatim, Senin (8/8/2016).

Namun, untuk besaran anggaran yang direncanakan itu pihaknya masih belum mau menyebutkan besaran yang diajukan. “Jumlahnya tidak jauh-jauh dari anggaran tahun 2016 ini,” tutur pria yang pernah menjabat Kepala SMAN 16 Surabaya itu.

Meski ditolak MK, Ia berkeyakinan Pemerintah Kota Surabaya memiliki mekanisme sendiri dalam perubahan anggaran. “Pastinya, anggaran itu tetap diusulkan,” tandas Sudarminto.

Selanjutnya, Anggota Komisi E DPRD Jatim, Agatha Retnosari mengungkapkan, saat menunggu proses penganggaran tingkat provinsi juga akan jalan terus. ‘Kami meminta Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim juga tetap mengusulkan jumlah anggaran baru yang digunakan untuk mengelola Dikmen dan Pendidikan Khusus (PK) mulai tahun 2017 nanti,’ ungkap Agatha.

Anggota fraksi PDIP Perjuangan ini, menjelaskan. Pengajuan anggaran, akan dilakukan sekitar akhir Agustus dan akan dibahas di tingkat komisi. ‘Anggaran tahun 2017 baru digedok sekitar 10 Nopember dan Kita juga akan mengambil ancang-ancang saja,” kata Agatha.

Jika MK menolak gugatan wali murid Surabaya, ia memastikan Dinas pendidikan dan kebudayaan (Dindik) Jatim siap mengelola bidang Dikmen dan PK se Jatim.

‘Meskipun menurut dindik Jatim ada tambahan pekerjaan saya yakin bisa untuk mengolahnya,’ tegas Agatha.

Namun, berkaca pada alokasi anggaran yang ada pada dindik Jatim yang di alokasikan pada Dikmen Ia menggap memang minim dan masih terjadi pengurangan.

“Defisit anggaran masih terjadi, tahun depan mungkin ada pengurangan kembali,” papar Agatha.

Dia menegaskan, penandatanganan nota kesepahaman antara kepala daerah dengan Gubernur Jatim dilakukan pada bulan September. “MoU ini bukti penyerahan Personil, Prasarana, Pembiayaan dan Dokumentasi (P3D) yang diatur dalam UU 23/2014,” tandas Agatha.

Sementara itu, peneliti dari Pusham Ubaya Dian Noeswantari mengungkapkan, kerumitan yang akan dihadapi oleh pemerintah kabupaten kota jika UU 23/2014 tidak dikabulkan oleh MK, seperti proses pengelolaam Dikmen selanjutnya.

“Nanti birokrasinya menjadi panjang dan tidak efisien. Pertentangan dengan UU Sisdiknas juga menjadi tanda tanya pembuatan UU 23/2014,” tutur Dian.

Sementara itu, pihaknya masih mempertanyakan kemampuan provinsi dalam memajukan bersama Dikmen se Jatim. Dan pihaknya menyarankan agar mengenai kebijakan tetap melihat kepala daerah masing-masing. “Yang kita bahas ini masalah orang, hajat hidup orang banyak, bukan melihat uang dan angka, hendak nya hal tersebut dipikirkan dan dilakukan lebih matang,” harap Dian. (ito/ted)

Sumber: https://beritajatim.com