Oleh: Hazrul Iswadi
Pada abad digital sekarang ini, kita menerima (atau lebih tepatnya dibombardir) oleh beragam informasi berita atau pengetahuan yang sebagian besar kebenarannya dipertanyakan. Beragam media sosial menjadi potensi berbagai sumber misinformasi, disinformasi, propaganda, setengah benar, atau kebohongan terbuka. Berbagai bentuk dan teknik berkomunikasi membungkus kekurangakuratan atau ketidakbenaran yang terkandung dalam berita atau pengetahuan yang disajikan.
Titik pandang politik, ambisi mendominasi dari media, ekspansi koorporasi, kepentingan nasional, atau tujuan mulia dari beragam ideologi dapat menjadi awal mula dan produsen dari beragam misinformasi yang terjadi. Perkembangan teknologi memungkinkan semua yang memuat kekurangakuratan dan ketidakbenaran tersebut langsung diterima masing-masing individu. Tidak berjeda. Terhujam langsung ke benak kita masing-masing.
Coba bandingkan keadaan kita sekarang ini dalam menerima informasi dan pengetahuan dengan apa yang dilakukan orang-orang terdahulu di jaman Yunani kuno. Sang guru seperti Socrates dan Plato mengunyah-ngunyah pengetahuan yang didapatkannya dengan hati-hati, atau lebih tepatnya meresapi lambat-lambat penuh kenikmatan. Mereka menggunakan segala daya upaya logika mereka untuk mempertimbangkan informasi dan pengetahuan yang mereka dapatkan agar akurat dan benar. Sesudah ada keyakinan awal tentang kebenaran informasi dan pengetahuan itupun mereka tidak arogan memberitahukan informasi tersebut kepada murid-muridnya sebagai kebenaran. Mereka mempersilahkan murid-muridnya mendiskusikan, mempertanyakan, menentang, atau bahkan membantah informasi dan pengetahuan yang mereka beritahukan.
Perbandingan yang diberikan pada paragraf di atas memang ekstrim bahkan tidak berguna lagi sekarang ini. Pada saat sekarang ini informasi dan pengetahuan datang dalam hitungan detik. Belum selesai kita membaca pesan di WA tentang adanya modus kejahatan tertentu telah datang pesan berikut tentang cara mengantisipasi modus kejahatan baru tersebut. Kemudian tanpa menunggu hari datang lagi pesan berikutnya tentang varian modus kejahatan yang lebih baru, demikian seterusnya. Kadang berita yang baru saja kita terima di media sosial Line kemudian dinyatakan sebagai hoax di Facebook. Perilaku orang dalam mencari informasi dan pengetahuanpun juga berbeda jauh sekarang ini. Petinggi Google dalam suatu berita di detik.com menyatakan bahwa rata-rata pencari berita atau informasi akan segera menutup atau mengganti laman beritanya di internet jika browsernya membuka laman lebih dari tiga detik. Jadi secara rata-rata ambang kesabaran pencari berita dan informasi di internet hanya 3 detik!
Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam hal ketidakakuratan dan kekurangbenaran berita dan informasi adalah sumber berita. Sumber berita yang terpercaya akan berbanding lurus dengan tingginya tingkat keakuratan dan kebenaran berita dan informasi. Berita dari media sosial termasuk sumber berita yang sangat memerlukan perhatian. Penting atau tidak, akurat atau tidak, benar atau tidak, menipu atau tidak, atau memanipulasi atau tidak adalah beberapa item yang harus diperhatikan dari informasi atau pengetahuan dari media sosial.
Di ujung yang lain, informasi dan pengetahuan dari artikel yang berasal dari jurnal yang di review adalah sumber berita yang sangat dapat diandalkan. Metode memperoleh pengetahuan yang dilakukan dengan metode ilmiah dan melalui proses review mengurangi tingkat ketidakakuratan dan ketidakbenaran informasi dan pengetahuan yang dipublish di jurnal ilmiah.
Mengurangi tingkat ketidakakuratan dan ketidakbenaran informasi dan pengetahuan? Apakah tidak salah pernyataan ini? Apakah seharusnya jurnal ilmiah bebas dari ketidakakuratan dan ketidakbenaran informasi dan pengetahuan?
Sayangnya jawabannya tidak demikian. David J. Helfand dalam bukunya yang berjudul A Survival Guide to the Misinformation Age : Scientific Habits of Mind tahun 2016 memperlihatkan contoh-contoh terbaru dan terkenal di dunia berkaitan dengan ketidakakuratan dan ketidakbenaran informasi dan pengetahuan yag berasal dari sumber jurnal ilmiah bereputasi. Salah satu contohnya adalah tentang berita atau informasi bahwa vaksin MMR memicu autisme pada anak-anak. Pada tahun 1998, seorang dokter Inggris bernama Dr. Andrew Wakefield dan 12 co-author yang lain menerbitkan tulisan di jurnal medis terkenal di Inggris The Lancet tentang studi dari 12 anak berumur 3 sampai 10 tahun yang mengalami disorder perkembangan (delapan diantaranya mengidap autism). Setelah serangkaian tes mereka menduga ada kaitan antara disorder perkembangan anak-anak tersebut dengan keluhan pencernaan mereka. Catatan mereka menyatakan gejala pertama disorder perkembangan dilaporkan orang tua antara 24 jam dan 2 minggu setelah anak menerima vaksin MMR (Measles, Mumps, and Rubella/Campak, Gondok, Cacar). Walaupun pada artikel Dr. Andrew Wakefield dan kawan-kawannya menyatakan bahwa mereka tidak dapat membuktikan kaitan antara vaksin MMR dan gejala yang dinyatakan, tapi pada konferensi pers, sang dokter menyatakan bahwa dia tidak menyarankan penggunaan vaksin MMR sampai diadakan penelitian lebih lanjut.
Setelah terjadi polemik dan masalah kesehatan karena ketidakpercayaan pada vaksin MMR yang menyebar cepat ke seluruh penjuru dunia diperoleh beberapa fakta tentang Dr. Andrew Wakefield. Selain dari beberapa kesalahan prosedur ilmiah yang dilakukan dalam melakukan penelitian dan etika pengambilan kesimpuan yang tidak baik, hal yang sangat menganggu adalah Dr. Andrew Wakefield menerima 720.000 USD dari tim pengacara yang menentang perusahaan vaksin MMR dua tahun sebelum artikel diterbitkan.
Jika jurnal ilmiah bereputasi internasional saja tidak luput dari dari ketidakakuratan dan ketidakbenaran informasi dan pengetahuan, maka pada sumber atau kekuatan apalagi kita dapat bersandar? Dalam konteks itulah apa yang dikemukakan oleh David J. Helfand menjadi penting yaitu kebiasaan berfikir ilmiah. Tahapan-tahapan yang ada dalam berfikir ilmiah seperti penetapan asumsi, pengujian asumsi, dan penarikan kesimpulan yang benar membantu kita menentukan akurat atau benarnya informasi dan pengetahuan, bebas dari kebergantungan kita pada sumber terpercaya.
Apalagi isu-isu teknologi yang merupakan turunan dari sains semakin sering kita hadapi. Contoh dari masalah-masalah yang terdapat iklim global, kecelakaan pesawat, masalah pertahanan dan keamanan, dan lingkungan semuanya berkaitan dengan sains dan teknologi. Keakuratan dan kebenaran informasi dan pengetahuan yang berasal dari isu-isu diatas dapat diuji sepenuhnya dengan menggunakan cara berfikir ilmiah.