Manfaatkan Investasi Langsung untuk Perkuat Struktur Industri fadjar May 12, 2016

Manfaatkan Investasi Langsung untuk Perkuat Struktur Industri

Berdasarkan indeks investasi global Tiongkok, RI hanya di urutan ke-44 dari 67 negara.
FDI juga sangat vital untuk menjaga neraca pembayaran tak defisit berkelanjutan.

JAKARTA ndash; Perekonomian Indonesia menghadapi masalah struktural antara lain lemahnya investasi yang disebabkan kesenjangan dalam tabungan dan kebutuhan investasi. Untuk itu, pemerintah perlu memacu realisasi investasi langsung asing (foreign direct investment/FDI) guna memacu pertumbuhan ekonomi, dengan cara memangkas semua hambatan investasi langsung itu.

Selanjutnya, FDI mesti diarahkan agar bisa memberikan sumbangan berarti bagi penguatan struktur industri, peningkatan nilai tambah, alih teknologi, peningkatan ekspor, dan penciptaan lapangan kerja.

Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengemukakan hal itu ketika dihubungi, Rabu (11/5). Ia menambahkan peranan FDI juga sangat vital untuk menjaga agar neraca pembayaran tak mengalami defisit berkelanjutan akibat kecenderungan memburuknya defisit transaksi berjalan.

“Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan peran investasi asing. Namun, jika dibandingkan dengan rata-rata Asia dan Amerika Selatan, tetap saja peranan investasi asing di Indonesia masih relatif kecil,” ungkap dia.

Menurut Wibisono, daya tarik Indonesia terhadap masih kalah dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. “Daya tarik berupa kemudahan perizinan, lahan, hingga kepastian hukum dan problem upah minimun buruh setiap tahun seringkali membuat investor luar berpikir berulang kali sebelum menanamkan modal,” jelas dia.

Oleh karena itu, imbuh dia, tidak mengherankan jika Indonesia kalah dengan Malaysia, dan mulai disalib Vietnam yang relatif lebih murah upah buruhnya.

Berdasarkan indeks investasi global Tiongkok atau China Going Global Investment Index (CGGII) pada 2015, ternyata Indonesia hanya di urutan ke-44 dari 67 negara. Di antara negara ASEAN pun, peringkat Indonesia tercecer. Yang paling atraktif bagi investasi asing Tiongkok di kawasan Asia Tenggara adalah Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (ke-20), Thailand (ke-38), Filipina (ke-39), dan Vietnam (ke-40).

Berdasarkan rencana investasi, Tiongkok cukup menonjol di Indonesia. Namun, realisasinya sejauh ini relatif kecil. Komitmen investasi Tiongkok pada 2010-2015 mencapai 22 miliar dollar AS. Namun, rasio realisasi investasi hanya 14 persen.

Padahal, menurut Wibisono, Indonesia berpotensi memperoleh manfaat dari transisi perekonomian Tiongkok. Restrukturisasi industri di Tiongkok mendorong relokasi industri, baik milik asing maupun milik pengusaha dan BUMN Tiongkok.

“Sejauh ini Vietnam banyak menikmatinya. Kalau kita bisa menarik 5 persen saja, jutaan tenaga kerja bisa terserap,” papar dia.

Tiongkok merupakan investor terbesar ketiga di dunia. Sejak Tiongkok melakukan ekspansi ke seantero dunia pada 2005, investasi langsung ke luar negeri (outbond direct investment) tumbuh rata-rata 35 persen setahun, mencapai 123 miliar dollar AS pada 2014.

Global Lesu

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, berpendapat rendahnya realisasi investasi langsung dari negara maju akibat kekeliruan skala prioritas belanja dan kebijakan pemerintah. Sentimen positif yang diharapkan oleh investor sama sekali tidak bisa dirasakan.

“Problem investasi saat ini kan lesunya ekonomi global. Namun, skala prioritas dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ternyata tidak bisa memberi harapan kepada investor,” kata dia.

Salamuddin mencontohkan dorongan investasi di sektor migas seperti Masela dan Mahakam yang sampai saat ini tertunda karena harga minyak dunia sedang drop, begitu juga dengan sawit. Sementara pembangunan infrastruktur yang digembor-gemborkan sebagai ujung tombak daya saing dan daya tarik investasi tidak memiliki signifikansi dengan kebutuhan jangka pendek investasi langsung.

“Bikin jalan, bikin jembatan, dan prioritas investasi langsung yang ditawarkan ternyata tidak jelas. Apa kekuatan kita untuk memberi solusi lesunya ekonomi dunia, tidak jelas. Padahal ekonomi itu soal percaya bahwa ada harapan lebih baik,” jelas Salamuddin.

Sebelumnya dikabarkan, realisasi investasi langsung di Indonesia dari negara maju, termasuk dari Tiongkok, dinilai masih rendah. Padahal, arus investasi yang deras sangat dibutuhkan untuk mengimbangi defisit neraca perdagangan dengan Raksasa Kedua Ekonomi Dunia tersebut.

Sumber: https://www.koran-jakarta.com