Membela Penegakan Hukum Tak Tertulis fadjar April 20, 2016

Membela Penegakan Hukum Tak Tertulis

SAAT usia tak lagi muda, Prof Dr Barda Nawawi Arief SH masih aktif menggeluti profesinya sebagai tenaga pendidik. Meski usianya sudah menginjak 73 tahun, namun semangat guru besar Hukum Pidana Undip dalam mendidik mahasiswa tidak kalah dibandingkan dengan dosen- dosen muda.
Selain dosen program studi S-1 Fakultas Hukum Undip, ia juga menjadi pengajar di beberapa perguruan tinggi swasta di Pulau Jawa. Bahkan, Barda juga tercatat sebagai dosen Pascasarjana S-2/S-3 Ilmu Hukum di Universitas Indonesia (UI), UGM Yogyakarta, Unpad Bandung, Unila Bandar Lampung, USU Medan, Unud Bali, Ubaya Surabaya, UIR Riau, UNS Solo, dan Untag Semarang.
Di tengah kesibukan yang luar biasa itu, pria kelahiran Cirebon, 23 Januari 1943 itu pun masih turut menyumbangkan gagasan dan pemikirannya buat pemerintah dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Ditemui Suara Merdeka baru-baru ini di kompleks Perumahan Undip No 2, Jalan Sukun Raya, Banyumanik, Semarang, Barda menyampaikan pandangannya terhadap hukum di Indonesia yang dia nilai perlu diperbarui.
Selaku anggota tim pakar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), ia kini turut terlibat dalam penyusunan RKUHP yang sebenarnya sudah dibahas sejak 1964. Barda menyebutkan, KUHP yang akan diperbarui saat ini menjadi masalah besar nasional. “Sudah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, tapi hukumnya yang dipakai KUHP era zaman Belanda dulu.
Bangsa ini perlu mengganti bangunan hukum yang khas ke-Indonesiaan-nya seperti berjiwa sesuai filosofi Pancasila, yakni hukum berke-Tuhanan, berkemanusiaan, berkeadilan, dan kerakyatan,” kata lulusan Fakultas Hukum Undip 1968 ini. Penegakan tindak pidana yang dipakai sekarang ini hukum tertulis dengan model KUHP kolonial berazaskan legalitas formal.
Dalam RKUHP kali ini maknanya diperluas. Sumber hukum tidak hanya tertulis tapi juga hukum yang hidup atau tak tertulis. Dengan demikian, arti penegakan hukum bukan menegakkan UU tapi juga mempertimbangkan hukum hidup yang sesuai dengan rakyat.
Alternatif Hukum
Menurut Barda, hukum tidak tertulis itu eksistensinya diakui UUD 1945 dan undang-udang hukum lain. Dicontohkannya, perbuatan orang melakukan hubungan seks di luar nikah sampai hamil itu tercela. Namun, menurut undang-undang, hal itu tidak tercela. Padahal, jika dipandang dari sisi hukum ber- Ketuhanan itu tergolong perzinaan.
Di KUHP sekarang ini yang dilarang dan dapat dipidana ialah apabila suami atau istri melakukan hubungan dengan wanita atau laki-laki lain. “Akibat cara penegakan hukum secara formal itulah, ada yang berpandangan melanggar hukum hidup atau agama tersebut tidak apa-apa.
Inilah gendengnya, telah terjadi erosi terhadap hukum yang hidup,” ucap Barda kini punya kesibukan lain, momong cucu. Kasus petik tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) yang membuat nenek Minah diganjar satu bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan juga tak luput dari perhatiannya.
Bermula saat memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakrandenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas pada 2 Agustus 2015, Minah melihat ada tiga buah kakao sudah ranum. Setelah dipetiknya, tiga buah kakao tidak disembunyian dan ditaruh di bawah pohon kakao.
Kemudian, datang mandor perkebunan PT RSA yang menanyakan pemetik kakao tersebut. Karena keterusterangannya, Minah diceramahi tidakannya itu sama halnya mencuri. Usai mengaku salah, tiga kakao yang dipetiknya ini dikembalikan ke mandor.
Ternyata tindakannya itu dilaporkan ke aparat kepolisian. Dalam hal ini, Barda menilai perkara Minah bak sebuah ironi. Pidana kecil tapi belum menyentuh rasa keadilan. Barda juga berbicara mengenai RKUHP yang memberikan alternatif hukuman kerja sosial.
Rancangan ini pernah dilontarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly di selasela kunjungan ke LP Wanita Semarang, pada 12 Juni 2015. Di mana, Yasona ketika itu mengungkapkan KUHP baru yang akan mengatur hukuman alternatif seperti dikenai kerja sosial atau pendidikan.
Hukuman bakal diberikan kepada pelaku tindak pidana ringan. Itu sebagai solusi atas permasalahan kelebihan penghuni di hampir seluruh lapas di Indonesia. Menurut Barda, delik-delik ringan dalam KUHP seperti pencurian dan penggelapan ringan ancaman hukuman pendek, yakni maksimal tiga bulan dan denda 60 Gulden (1 Gulden = Rp 15) atau Rp 900.
“Karena dendanya kecil maka tidak dipilih, hakim kebanyakan menjatuhkan pidana alternatif dengan menghukum terdakwa selama tiga bulan. Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya kelebihan kapasitas di lapas,” ungkapnya.
RKUHP yang akan membahas tindak pidana ringan ini disambut positif di mana pelakunya akan dapat dipidana kerja sosial. Usai mengulas RKUHP, Barda juga sempat bercerita soal kehidupan pribadinya.
Di mana, setiap kali mengajar atau jadi narasumber di luar kota atau bahkan luar pulau Jawa, ia selalu didampingi istri tercintanya. Pada 2013, Barda yang telah menunaikan ibadah haji ini mendapatkan mukjizat luar biasa di kala ia disembuhkan dari penyakit stroke.
Di sela kesibukannya, ia masih menyempatkan waktunya untuk olahraga joging. Sesekali juga bermain catur dengan mantan dosen Undip. (Royce Wijaya SP-90)
Sumber: https://berita.suaramerdeka.com/