Jangan Abaikan Orang-orang Pengidap Autis fadjar April 18, 2016

Jangan Abaikan Orang-orang Pengidap Autis

Oleh: Hazrul Iswadi, Teknik Industri Ubaya

Sungguh menarik sekali majalah berita mingguan terkenal The Economistpada edisi 16 April 2016 mengangkat cover story tentang dampak ekonomi untuk beberapa negara maju karena pengabaian pada orang-orang yang mengidap autis. Dengan dukungan data dan gaya jurnalisme advokatif, The Economist secara lugas memaparkan data dari beberapa negara maju tentang persentase pengidap autis untuk anak laki-laki semakin lama semakin meningkat. Disebutkan The Economist bahwa pada tahun 1970 satu diantara 14.000 anak laki-laki ditenggarai mengidap autisme, sedangkan pada saat sekarang diperkirakan satu diantara 40 atau 60 anak laki-laki. Data yang hampir sama didapatkan di negara maju lain seperti Inggris dan Korea Selatan. Di Inggris diperkirakan hanya 12% dari orang pengidap autis bekerja full-time. Sedangkan secara global, PBB memperkirakan sekitar 80% orang dewasa pengidap autis tidak berada di dunia kerja.

Hal tersebut meningkatkan jumlah orang-orang dewasa yang tidak mampu membiayai dirinya sendiri dan terisolasi dari dunia kerja. Akibatnya mereka berpotensi meningkatkan beban biaya sosial dan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi suatu negara. Suatu studi di America menyebutkan biaya beban sosial yang ditanggung negara untuk para pengidap autis diperkirakan 2% dari GDP America.

The Ecomonist menyatakan terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban biaya sosial yang terjadi di atas. Hal-hal yang dapat dilakukan itu untuk membantu orang-orang yang mengidap autis mampu menghidupi diri sendiri, mandiri, dan berfungsi dalam duni kerja. Hal-hal yang dilakukan antara lain: mulai dari pendeteksian secara dini yang makin akurat untuk anak-anak pengidap autis, penanganan yang lebih baik untuk kemajuan akademik dan sosialisasi bagi anak-anak pengidap autis di sekolah, menciptakan lingkungan kerja yang ramah terhadap orang-orang pengidap autis, dan meningkatkan penelitian untuk memahami hal-hal yang berhubungan dengan autisme.

Titik pandang The Economist tentu sesuai dengan pihak-pihak yang terlibat dan bersimpati dengan penanganan orang-orang yang mengidap autis. Seperti halnya disabilitias yang lainnya, selalu dibutuhkan usaha bersama untuk memahami dan membantu mereka agar berfungsi dengan lebih baik dalam masyarakat.

Dimulai dari masalah pemahaman tentang autisme, sebagian besar masyarakat masih belum paham tentang apa itu autisme. Autisme adalah kondisi otak yang berkaitan dengan keahlian bersosialisasi yang rendah. Autisme mewakili spektrum gejala yang luas, seperti kelakuan obsesif, hipersensitif terhadap cahaya, suara atau stimulasi sensori yang lain, dan memiliki banyak tingkatan mulai dari yang ringan sampai berat. Pemahaman gejala yang baik dan sedini mungkin dari orang tua dan lingkungan memungkinkan penanganan autis dilakukan lebih baik. Konseling pra-nikah, penyuluhan sosial di lingkungan, atau acara-acara keluarga di televisi tentang apa itu autisme dapat menjadi beberapa cara yang dilakukan masyarakat dan negara untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang apa itu autisme.

Pada saat masa sekolah pun, banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat agar anak-anak autis mendapatkan pendidikan yang membantu mereka menjadi berfungsi dengan baik pada dunia kerja. Salah satu isu yang muncul saat anak autis masuk ke sekolah adalah apakah mereka akan diajar terpisah atau masuk dalam kelas reguler? Jawabannya ternyata tidak tunggal, sangat bergantung pada kondisi anak autis dan lingkungan. Walaupun dianjurkan anak autis belajar dalam lingkungan reguler untuk memperbaiki keahlian sosialisasinya, tapi faktor kesiapan anak-anak yang lain, guru, dan lingkungan sekolah berpengaruh pada keputusan apakah anak autis diajar terpisah, bersamaan dengan kelas reguler, atau dicampur.

Kemampuan guru dan sekolah untuk menentukan dan merancang kegiatan belajar mengajar yang kondusif bagi semua anak, baik yang autis ataupun yang tidak sangat dituntut. Untuk itu dibutuhkan keahlian tambahan bagi guru untuk bisa mewujudkan hal di atas. Sejauh ini, sebagian besar guru-guru di Indonesia tidak memiliki keahlian untuk mendidik siswa yang mengidap autis. Bahkan di negara majupun hal tersebut diakui. Di Inggris, sekitar 60% guru merasakan bahwa mereka tidak punya kemampuan untuk menangani siswa pengidap autis. Upaya terintegrasi dan berkelanjutan dari pemerintah dalam sistem pendidikan nasional diperlukan untuk menciptakan keahlian tersebut.

Kemudian, di dunia kerja, pemahaman yang baik tentang autis dapat membuka wawasan dari pemberi kerja bahwa orang-orang pengidap autis memiliki karakteristik tertentu yang sesuai untuk pekerjaan tertentu dan memiliki performa kerja yang tidak kalah dengan orang yang tidak mengidap autis. Kecendrungan pengidap autis untuk fokus, menyukai hal-hal detil, hal-hal rutin, dan tidak menyukai banyak perubahan adalah beberapa potensi yang dapat dimanfaatkan oleh dunia kerja. Walapun demikian lingkungan kerja diharapkan dapat memahami dan ramah untuk orang-orang pengidap autis misalnya penggunaan bahasa verbal yang langsung atau memperbanyak petunjuk visual.

Upaya dan dana yang disebar pada kegiatan preventif, penelitian mendalam, terintegrasi di masyarakat, dan menjangkau segala lini kehidupan diperlukan untuk membuat orang-orang pengidap autis menjadi orang-orang yang berdaya secara ekonomi. Titik pandang yang dikemukan The Economist tersebut tentu lebih strategis dan menjanjikan daripada mengabaikan sekian persen orang-orang pengidap autis untuk masuk dunia kerja dan menjadi tanggungan sosial masyarakat dan negara.