Jagoan Wushu yang Menolak Bertarung fadjar February 24, 2016

Jagoan Wushu yang Menolak Bertarung

Hobi Berbuah Prestasi Cindy dan Natalie

Jagoan Wushu yang Menolak Bertarung

Cindy Martono dan Natalie Chriselda Tanasa sama-sama mengenal wushu sejak belia. Tidak ada yang menyangka, mereka meraup prestasi lewat hobi tersebut. Keduanya mampu ”mencicipi” emas sebagai atlet wushu.

MASA kecil Cindy dan Natalie dihabiskan dengan berlatih wushu. Keluargalah yang mengenalkan mereka pada seni bela diri asal Tiongkok tersebut. ”Waktu kecil, saya aktif banget. Kakek menyarankan masuk wushu karena ada kenalan di sana,” ucap Natalie.

Perempuan kelahiran Surabaya, 22 Desember 1993, tersebut rutin berlatih sejak berusia 9 tahun. Sementara itu, kisah Cindy sedikit berbeda. ”Saya awalnya ikut balet. Karena enggak cocok, Mama mengarahkan ke hobi yang beda, ya wushu ini,” ucapnya.

Keduanya sepakat, secara tidak langsung, wushu memberi banyak dampak positif. Postur lebih baik, badan lebih lentur, daya tahan tubuh juga terjaga. ”Menurut saya, balet lebih feminin. Sementara wushu lebih menantang,” papar Cindy.

Tidak banyak yang mengira Cindy jago wushu. Perempuan yang mengambil cabang taichi tersebut tampak feminin dengan fisik mungil dan rambut panjang. Cindy juga cenderung kalem saat berbicara.

Berbeda halnya dengan Natalie yang tampil sporty. Dengan potongan rambut pendek dan badan tegap, Natalie kerap membikin keder orang yang baru bertemu dengannya. ”Padahal, saya biasa saja, lho,” tutur Natalie.

Citra perempuan yang berprofesi atlet memang sering mengundang decak kagum. Apalagi, Natalie dan Cindy sama-sama menekuni cabang olahraga bela diri. Kesan sangar dan petarung melekat pada diri keduanya.

Secara teknis, cabang yang mereka mainkan merupakan taolu atau wushu yang menitikberatkan penampilan. Mirip cabang kata pada bela diri karate. ‘Padahal, enggak. Justru kami harus menghindari pertarungan supaya tidak cedera,’ ujar Cindy.

Hampir setiap hari, kecuali Minggu, mereka berlatih saat pagi dan malam. Menyimak latihan yang dilakukan di lantai 4 Nation Star Academy Surabaya, gerakan mereka tidak terburu-buru. Tiap loncatan, kuda-kuda, hingga sabetan pedang tombak tampak stabil. ”Saat loncat atau mendarat, kalau salah, cederanya bisa amat fatal,” ucap Natalie.

Natalie yang menyumbang emas pada PON 2012 pernah menjalani operasi lutut kiri pada 2014. ”Seharusnya tahun 2013 sudah dioperasi. Tapi, saya ngotot ikut SEA Games,” ucap Natalie. Dokter mengingatkan bahwa hasilnya tidak akan optimal. Namun, dengan niat kuat, Natalie mampu meraih perunggu dengan kondisi otot lutut yang tinggal 10 persen.

Menjalani profesi atlet sejak muda, menurut keduanya, berarti siap berkorban. Termasuk perkara kuliah. Cindy dan Natalie kuliah di Universitas Surabaya. Cindy mahasiswi program studi akuntansi, sedangkan Natalie menjalani tahun terakhir program studi multimedia. ‘Tidak selamanya bisa bermain wushu. Maka, kami juga mesti membekali diri dengan pendidikan,’ jelas Natalie. (fam/c6/ayi)

Sumber: Jawa Pos, 24 Feb 2016