Kampus Harus Jadi Kawah Candradimuka fadjar January 11, 2016

Kampus Harus Jadi Kawah Candradimuka

JONIARTO PARUNG:

Kampus seharusnya menjadi kawah candradimuka bagi mahasiswa. Begitu lulus, berani membuka usaha bagi mereka yang berjiwa wirausaha atau mampu bersaing di dunia kerja. Sehingga tak ada lagi yang namanya pengangguran terdidik.

”Kebanyakan mahasiswa hanya fokus belajar pada bidang ilmu yang ditekuninya. Padahal, ada faktor lain yang akan mempengaruhi masa depannya,” kata Rektor Universitas Surabaya (Ubaya), Prof Joniarto Parung PhD dalam percakapan dengan Suara Karya, di ruang kerjanya, belum lama ini.

Berbekal pengalaman itu, lanjut Prof Joniarto, mahasiswa Ubaya sejak awal ditekankan pentingnya pembelajaran sektor lain, diluar bidang ilmu yang digelutinya. Para mahasiswa Ubaya dipaksa untuk belajar berorganisasi, guna memupuk kepercayaan diri serta kepandaian menyampaikan gagasan dalam forum.

”Jadi mahasiswa tak hanya cerdas dalam ilmu, tetapi juga dalam cerdas dalam berperilaku. Karena hal itu bisa menjadi nilai lebih saat bersaing di dunia kerja atau membangun jaringan bisnisnya,” ucap purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir sebagai Letnan Satu itu.

Dengan demikian, lanjut Joniarto, kampus menjadi kawah candradimuka bagi seluruh mahasiswanya. Pihaknya memiliki input dan output secara terukur pada setiap mahasiswa, sejak masuk kampusnya hingga menjadi alumni.

”Kami ingin semua mahasiswa Ubaya memiliki kepercayaan diri yang sama serta memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Karena hal itu bisa menjadi ”modal” untuk bekerja dan berusaha,” tuturnya.

Joni yang sehari-hari masih mengajar itu mengaku banyak belajar dari mahasiswa asing yang sedang menimba ilmu di Ubaya. Dari 12 ribu mahasiswa Ubaya, ada ratusan orang merupakan mahasiswa asing.

”Setiap tahun, kami menerima sekitar 40 mahasiswa asing,” kata pria kelahiran Toraja, 15 November 1960 ini.

Ia melihat mahasiswa asing di kampusnya lebih percaya diri untuk mengutarakan pendapat, dibanding mahasiswa lokal. Padahal, tidak semua mahasiswa asing itu memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang bagus untuk menyampaikan pendapat.

”Para mahasiswa asing itu lebih siap dalam banyak hal,” katanya menegaskan.

Pihaknya berharap, para mahasiswa mendapat kesempatan belajar bagaimana bersosialissai melalui organisasi. Karena tak mudah berkoordinasi dengan orang lain dan tak mudah juga menjadi pemimpin.

”Kami ingin mahasiswa asing dan lokal saling berbaur. Mengambil yang terbaik dari para mahasiswa asing yang berasal dari Jerman, Perancis, Belanda, Korea, Rusia dan China. Para mahasiswa asing ini ada yang ikut kuliah pendek (1-2 bulan), diploma 3, S-1 dan pascasarjana,” katanya.

Kerja Keras

Joni menuturkan, kebanyakan mahasiswanya berasal dari limpahan dari calon mahasiswa yang gagal diterima di perguruan tinggi negeri (PTN). Hanya sedikit sekali, calon mahasiswa di level top 1-4 yang sejak awal ingin kuliah di PTS.

”Dengan demikian, mahasiswa yang masuk PTS rata-rata ada di level top 11-20. Untuk itu, kami harus kerja ekstra bagaimana membuat calon mahasiswa ada di level top 11-20 menjadi sarjana yang unggul dan mampu bersaing dengan lulusan PTN di dunia kerja,” tuturnya.

Menurut Joniarto, pihaknya memiliki cara khusus yang menjamin para alumni bisa dipercaya lapangan kerja. Beragam terobosan dilakukan membuat banyak alumni Ubaya yang langsung diserap perusahaan besar.

Guna memastikan jaminan kualitas lulusan, menurut Joniarto, Ubaya membentuk Direktorat Penjaminan Mutu dan Audit Internal. Lembaga tersebut bertugas mengawal ketat semua proses pembelajaran di kampus.

”Lembaga juga memantau penggunaan buku oleh mahasiswa serta mengamati pertemuan antara dosen dengan mahasiswanya per semester. Berapa kali dilakukan setiap bulannya,” ucap Joniarto.

Direktorat yang berperan semacam provost di lingkungan kemiliteran itu juga bertugas memeriksa keseriusan para dosen dalam menerapkan program yang disusun sebelumnya.

”Di perguruan tinggi lain mungkin saja ada lembaga semacam ini, tetapi bentuknya sekadar unit. Beda dengan direktorat kami yang posisinya langsung di bawah rektor,” kata Joniarto.

Keberadaan lembaga itu, lanjut Joniarto, akan memastikan para mahasiswa yang lulus apakah sudah menguasai ilmu yang dipelajari selama di Ubaya. Mereka yang dapat nilai bagus, misalkan, memang layak untuk mendapatkan nilai maksimal tersebut, bukan karena faktor lain.

”Keberadaan direktorat itu ikut mendongkrak kepercayaan para mahasiswa. Lembaga itu juga meyakinkan masyarakat tentang kualitas alumni Ubayam” katanya.

Tak hanya aspek pengawasan sistem belajar mengajar saja yang dilakukan Ubaya, proses perekrutan calon dosen pun mendapat pengawalan super ketat. Para calon dosen harus memiliki IPK (indeks prestasi kumulatif) minimal 3.

”Mereka juga harus melewati serangkaian tes, mulai dari teknik mengajar, hingga ke masalah perilaku dosen bersangkutan. Setelah itu mereka akan menjalani tes wawancara. Mereka harus punya visi dan misi yang sepaham dengan kampus Ubaya yang multi kultur,” tuturnya.

Soal status akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi, Joni mengaku bangga karena kerja kerasnya selama ini mendapat pengakuan dari pihak lain. ”Untuk mendapat akreditasi A bukan hal mudah. Penilaian BAN-PT sangat ketat,” ucap Joniarto menegaskan. (K1)

Sumber: https://www.suarakarya.id