Prihatin Anarkisme Suporter Sepak Bola Indonesia fadjar December 21, 2015

Prihatin Anarkisme Suporter Sepak Bola Indonesia

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Sepak bola di Indonesia merupakan olahraga terpopuler. Beragam klub sepakbola di Indonesia mulai amatir hingga profesional. Dengan banyak klub sepakbola yang ada di Indonesia tentu diikuti dengan beragamnya basis suporter sepak bola di masing-masing klub. Klub sepakbola dan suporternya seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Klub sepakbola tanpa suporter akan hambar tanpa gairah saat bertanding. Demikian pula suporter tanpa klub maka tidak akan ada wadah atau momen untuk memberikan dukungan. Sehingga wajar suporter dan klub mengeluh ketika Indonesia mendapatkan hukuman FIFA tidak boleh memutar kompetisi sepak bola akibatcarut marutnya kompetisi sertakonflik pemerintah dan induk organisasi sepak bola Indonesia PSSI. Solusinya diadakannya beberapa turnamen sepak bola yang dapat membuat klub dan suporter bergairah salah satunya Turnamen Piala Sudirman.

Sepak bola Indonesia selama ini identik dengan hal-hal yang negatif dibandingkan dengan prestasi. Tidak banyak yang dapat dibanggakan dari sepak bola Indonesia selama beberapa dekade terakhirtetapi keprihatinan lebih banyak mengarah pada kericuhan pertandingan, isu suap pemain hingga pengaturan skor, serta anarkisme suporter bola. Anarkisme suporter sepak bola beragam bentuknya mulai dari aksi perusakan fasilitas stadion, perusakan fasilitas umum, perusakan dan perampasan hak milik orang lainyang tidak ada sangkut pautnya dengan sepak bola, serta bentrok antar suporter yang sudah dapat dikategorikan perilaku kriminal. Kasus terakhir adalah bentrok antara suporter Surabaya dan Malang yang terjadi di Sragen hingga menewaskan dua suporter dari Malang. Sungguh memprihatinkan karena lokasi kota Surabaya dan Malang sangat dekat dan kasus bentrok tersebut merupakan kasus kesekian kalinya. Sudah sangat sering dua suporter tersebut mengalami bentrokan entah siapa pemicunya yang pasti keduanya pernah sama-sama menjadi pemicu awal bentrokan.Kasus bentrokan di Sragen merupakan runtutan dari konflik-konflik yang sebelumnya telah terjadi di antara kedua supporter. Selama ini sudah ada upaya dari pengelola kompetisi sepak bola nasional untuk memisahkan dua klub bola dari kota Surabaya dan Malang agar tidak bertanding di satu wilayah untuk mencegah terjadinya bentrok suporter. Kalaupun tidak memungkinkan memisahkan wilayah, saat kedua klub bertanding suporter lawan yang menjadi tamu tidak diperbolehkan hadir. Sudah ada upaya juga untuk melakukan konsilidasi, perjanjian damai dan sejenisnya, namun faktanya bentrokan tetap terjadi.

Tanda-tanda suporter kota Surabaya dan Malang belum dapat didamaikan cukup banyak. Misalnya saat klub sepak bola salah satu kota bertanding meski lawannya bukan dari Surabaya atau Malang maka akan ada sweeping yang dilakukan suporter bola tersebut terhadap kendaraan dengan plat nomor L atau N dan biasanya disertai dengan perilaku perusakan ataupun kekerasan. Tujuannya tidak jelas dan bukan kewenangan suporter melakukan sweeping namun nyatanya perilaku memprihatinkan tersebut tetap terjadi sehingga menimbulkan suasana negatif secara sosial dan psikologis yaitu rasa tidak aman pada masyarakat. Selain itu saat kita bepergian menggunakan kereta api dan melintasi beberapa stasiun akan terdapat tulisan-tulisan provokatif di tembok stasiun terhadap suporter lawannya yang jelas menggambarkan permusuhan kedua suporter. Saat klub sepak bola salah satu kota bertanding ke luar kota, dan suporternya hendak memberikan dukungan melintasi kota Surabaya atau Malang akan terjadi penghadangan dan berakhir dengan aksi anarkis. Dapat dibayangkan apabila kedua klub sepak bola tersebut bertanding di kota lain dan suporternya sama-sama memberikan dukungan akan terjadi bentrok di kota lain seperti yang terjadi di Sragen baru-baru ini.

Fanatisme berlebihan yang membabi buta, perilaku kriminal yang dibungkus dengan dukungan keolahragaan, serta kuatnya pengaruh perilaku massa menjadi bibit anarkisme suporter bola Indonesia. Tidak lupa kurangnya ketegasan pihak berwajib terhadap suporter bola yang melakukan perilaku anarkis tergolong kriminal kategori ringan juga berperan terhadap tumbuhnya perilaku kriminal yang lebih besar. Sebagai contoh adanya aksi sweeping yang dilakukan suporter terhadap kendaraan dengan plat nomor tertentu, meresahkan masyarakat yang pasti, entah oknum atau bukan seharusnya pihak yang berwajib melakukan kontrol untuk hal tersebut. Meski sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai sepak bola namun dengan aksi anarkisme suporter sepak bola Indonesia tentu akan lebih mengharapkan kedamaian di Indonesia meskipun tanpa sepak bola. Sungguh memprihatinkan kerusakan fasilitas umum, hak milik pribadi, dan hilangnya nyawa manusia tidak disertai dengan konsekuensi hukum yang tegas hanya karena suporter sepak bola melakukannya secara massal. Semoga harapan dan doa agar aksi anarkisme suporter sepak bola Indonesia segera berakhir menjadi kenyataan.