Hukuman Fisik dan Labelling fadjar December 14, 2015

Hukuman Fisik dan Labelling

Kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari dibentuk sejak usia anak-anak. Pada masa tersebut, didikan dan motivasi orang tua adalah modal utama. Bekal itu akan melekat kepada anak hingga beranjak dewasa.

SALAH satu metode yang biasa diterapkan orang tua adalah pemberian reward dan punishment. Menurut dra Srisiuni Sugoto MSi PhD, metode tersebut merupakan adaptasi dari operant conditioning yang dikenalkan psikolog Amerika Serikat B.F. Skinner. ‘Ide dasarnya dari stimulus yang memunculkan respons dan diikuti konsekuensi. Konsekuensinya bisa berupa hadiah atau pujian dan hukuman,’ terangnya.

Siuni, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa reward diberikan saat responsnya sesuai. ‘Misalnya, si anak bisa mengerjakan PR sendiri. Orang tua memberikan pujian seperti ’wah, kakak rajin’,’ kata dia. Perempuan yang menjabat wakil dekan I Fakultas Psikologi Universitas Surabaya itu menyatakan, penghargaan tersebut berfungsi sebagai reinforcement atau penguatan bahwa yang dilakukan si anak cukup baik.

Begitu pun punishment. Hukuman yang diberikan ber tujuan agar perilaku anak yang kurang baik itu tidak dilakukan lagi. Meski demikian, Siuni menegaskan bahwa pemberian reward dan punishment harus konsisten. Peraturan yang dibuat harus tegas supaya anak mampu memahami nilai-nilai yang diinginkan orang tua.

‘Sekali no, ya no. Jangan hari ini ditegur, lalu besoknya tidak saat mereka melakukan kesalahan yang sama,’ ujar perempuan kelahiran 15 Maret 1966 tersebut. Selain itu, orang tua wajib menjadi role model dalam menerapkan peraturan tersebut. ‘Orang tua tidak hanya membuat, tapi juga menjalankan peraturan,’ lanjutnya.

Agar pelajaran yang diberikan benar-benar melekat, bentuk reward dan punishment harus efektif. Salah satunya memberikan hadiah atau hukuman yang punya makna bagi anak. ‘Hadiah itu tidak melulu harus mahal atau berupa fisik,’ tuturnya. Sebab, bisa jadi si kecil akan mengincar reward ketika melakukan suatu kegiatan.

Siuni mengungkapkan, reward tidak perlu diberikan bila si kecil melaksanakan kewajibannya. Misalnya, saat mengemasi mainan serta merapikan tempat tidur dan perlengkapan belajar. ‘Si kecil tidak bakal menganggap itu adalah kewajiban. Mereka bisa saja memanfaatkan hal tersebut untuk menguntungkan diri sendiri, terus menolak kalau nggak dapat hadiah,’ jelas dia.

Sementara itu, untuk pemberian punishment, psikolog Maria Agnes Roosmi Pratiwi SPsi menuturkan bahwa orang tua harus amat bijak. Tidak boleh berlebihan dan menyakiti mental atau fisik anak. ‘Jangan sampai, setelah dimarahi, si kecil justru takut atau nggak pede,’ tegasnya. Wiwik sapaan akrabnya menerangkan, pemberian hukuman sebaiknya diawali dengan peringatan.

Tidak langsung asal pukul atau memberon dong anak dengan kata-kata yang menyakiti hati. ‘Misalnya, dia nggak mau tidur siang. Jangan langsung dimarahi, ingatkan dulu,’ ucap dia. Cara itu, menurut ibu dua anak tersebut, lebih ampuh kalau dibandingkan dengan memberikan teguran langsung. Orang tua pun bisa ‘menghemat’ tenaganya. Si kecil bakal melakukan kewajibannya secara sukarela.

Dia menegaskan, jenis punishment yang wajib dihindari adalah kekerasan fisik serta labelling. Sebab, efeknya bisa membuat anak ketakutan hingga trauma. ‘Saat anak tidak berperilaku sesuai dengan ekspektasi, jangan langsung bilang, ’Dasar anak nakal, nggak bisa diatur, dan sebagainya’. Sebab, hal itu malah memotivasi anak untuk bertindak nakal,’ paparnya.

Psikolog RSIA Kendangsari dan Brain Clinic Surabaya itu menambahkan, hal tersebut bakal membekas. Bahkan, anak bisa mendendam kepada orang tua lantaran cap nakal tersebut. (fam/c14/jan)

Sumber: Jawa Pos, 10 Des 2015