Kebijakan OJK Berpotensi Menciptakan Angka NPL Semu fadjar August 5, 2015

Kebijakan OJK Berpotensi Menciptakan Angka NPL Semu

Antisipasi Krisis | Perlambatan Ekonomi Naikkan Potensi Gagal Bayar Kredit Properti Mewah

JAKARTA ndash; Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebaiknya lebih mengedepankan penegakan hukum untuk mengantisipasi terjadinya angka kredit bermasalah atau non performing loan(NPL) daripada membuat kebijakan yang cenderung kosmetika belaka atau semu.

Lagi pula, kebijakan yang hanya melindungi dan merangsang perbankan nasional jor-joran kredit dinilai tidak produktif karena bakal mempercepat pecahnya krisis keuangan.

“Kebijakan OJK yang baru ini bertujuan untuk menjaga relationshipperbankan dengan pelaku bisnis yang genuine yang memang diperlukan. Sehingga sifatnya sebagai bentuk adjusment-adjusment kecil, seperti kalau kita minum perlu sweetener-nya. Jadi hanya bersifat short term, yang menjadi faktor fundamental antisipasi adalah pengawasan yang benar dan, rule of game-nya harus jelas,” kata pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, saat dihubungi, Senin (3/8).

Dia mengatakan hal itu menanggapi penerbitan kebijakan baru OJK yang pada intinya melonggarkan ketentuan jaminan dan restrukturisasi utang. Sebelumnya, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menilai aturan baru OJK yang memperkenankan perbankan merestrukturisasi utang bila kredit yang masih lancar, berpotensi menimbulkan masalah dinilai merupakan rekayasa kosmetik kredit macet.

Regulasi yang bernuansa akal-akalan res trukturisasi kre dit itu dianggap tidak akan membantu perbankan karena akan menghasilkan angka NPL semu sehingga akan menumpuk permasalahan di kemudian hari.

Kebijakan yang dirilis OJK akhir bulan lalu itu diharapkan juga bukan sebagai sinyal bagi perbankan untuk melegalkan jor-joran kredit konsumsi, terutama sektor properti mewah yang tidak banyak berkontribusi atas masalah fundamental ekonomi bangsa, yakni lemahnya daya saing.

Aturan yang mengizinkan penilaian kualitas kredit dari maksimal 1 miliar rupiah dinaikkan menjadi 5 miliar rupiah dinilai juga mengakomodasikan kemungkinan rekayasa restrukturisasi kredit properti mewah yang berpotensi macet. Pasalnya, angka 5 miliar rupiah itu setara dengan harga satu rumah atau apartemen mewah.

Padahal, kata Salamuddin, selain sektor komoditas, sektor properti menjadi portofolio kredit perbankan yang sangat besar dan cenderung hanya digunakan sebagai ajang spekulasi dan rekayasa keuangan.

Dan, jika di kemudian hari ternyata kredit tersebut bermasalah rakyatlah yang harus menanggungnya, seperti pada skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat pecah krisis keuangan 1998. (Koran Jakarta, 2/8) Wibisono menambahkan kebijakan yang bersifat jangka pendek tersebut harus diikuti oleh upaya penegakan hukum.

“Kalau hanya mengandalkan pemanis bahaya, jangan sampai pelonggaran seperti ini tidak terkendali dan akhirnya pelunakan yang ada menyebabkan kredit macet. kita harus perang dengan pelaku yang abal-abal melalui law enforcementdan reformasi birokrasi.”

Menurut dia, perubahan mendasar harus dilakukan dengan memperbaiki iklim persaingan, mengajak pebisnis bergeser dari praktik rekayasa yang mengorbankan kualitas bisnis.

Terlambat Direspons

Sedangkan Ekonom UGM Yogyakarta, Revrisond Baswir, berpendapat situasi perlambatan ekonomi saat ini terlambat diantisipasi oleh rezim sebelumnya sehingga terlena dengan kredit konsumsi yang sangat besar. Akibatnya, ada situasi ketika kredit properti mewah, seperti mal, superblok, dan apartemen mewah terlalu tinggi dan saat ekonomi melambat seperti saat ini terancam gagal bayar.

“Konteks kebijakan OJK sebenarnya mengantisipasi dampak dari perlambatan ekonomi. Artinya, pelonggaran kebijakan OJK terhadap perbankan agar perbankan tidak terbebani saat melakukan restrukturisasi kredit. Persoalannya, kita khawatir kebijakan itu dimanfaatkan bank untuk menutup-nutupi kondisi sebenarnya,” ungkap Revrisond.

Seharusnya, imbuh Revrisond, OJK fokus pada pembenahan sektor yang benar-benar memberikan andil besar pada proses terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Seharusnya OJK berpihak pada UMKM. Sebab, dari 50 juta UMKM baru sekitar 10 juta yang dapat kredit perbankan, ini pun nilainya kecil. Bandingkan dengan kredit properti, baik besaran maupun jumlah penerimanya hanya beberapa konglomerat saja,” kata Revrisond.

Artinya, sampai saat ini belum ada perkembangan signifikan terkait dengan tingkat inklusi perbankan di Indonesia baik secara level ekonomi maupun daerah. “Kredit masih berpusat untuk orang kaya dan di Jawa,” imbuh dia. n YK/SB/WP

Sumber: https://www.koran-jakarta.com