PHK Massal dan Ledakan Pengangguran Ancam Indonesia fadjar July 3, 2015

PHK Massal dan Ledakan Pengangguran Ancam Indonesia

Jum`at, 03 Juli 2015 09:50 WIB

Jakarta- Sejumlah kalangan meminta pemerintah segera merespons berbagai gejala yang mengarah ke krisis ekonomi, seperti tekanan depresiasi rupiah yang tak kunjung reda yang mengakibatkan penurunan daya beli akibat inflasi tinggi, dipicu oleh kebergantungan sangat tinggi terhadap impor.

Selain itu, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan meledaknya pengangguran akibat perlambatan ekonomi, dan runtuhnya industri nasional karena kalah bersaing di pasar global maupun domestik dinilai juga perlu segera ditanggulangi.

Apabila faktor eksternal berupa efek krisis utang Yunani dan dampak rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS, Fed Fund Rate, menghantam Indonesia di saat kondisi internal yang rapuh seperti saat ini maka badai krisis ekonomi yang dahsyat tidak mustahil segera menerjang. Ekonom Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Suharto, mengemukakan hal itu saat dihubungi, Kamis (2/7).

Menurut dia, respons cepat pemerintah juga sangat diperlukan agar bisa lepas dari tekanan politik dari oposisi yang akan makin menyulitkan perbaikan ekonomi. “Saat ini yang dibutuhkan adalah respons cepat dan tepat dari tim ekonomi pemerintah,”papar Suharto.

Menurut dia, pemerintah semestinya bisa membaca situasi sehingga pemburukan berbagai indikator ekonomi sejak beberapa tahun silam segera diantisipasi, ketimbang selalu berdalih bahwa kondisi sekarang lebih baik dibandingkan krisis keuangan 1998.

“Pelemahan rupiah cukup mengguncang sektor riil sehingga banyak industri besar dalam negeri terutama tekstil dan yang lain yang komponen impornya tinggi berencana melakukan PHK besar,” ungkap Suharto.

Sebelumnya, pakar ekonomi UGM Yogyakarta, Mudrajad Kuncoro, juga mengingatkan bahwa perekonomian Indonesia kini bagaikan telur di ujung tanduk yang sewaktu-waktu bisa jatuh dan pecah berantakan.

Kerapuhan ekonomi itu antara lain ditandai memburuknya sejumlah indikator penting seperti, tren perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan daya beli, kenaikan pengangguran, dan ancaman PHK besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Selain itu, pemerintah hingga kini juga belum mampu keluar dari persoalan defisit transaksi berjalan akut, kebergantungan tinggi pada impor khususnya pangan, penurunan ekspor dan daya saing global, serta utang luar negeri yang menumpuk hingga 300 miliar dollar AS (sekitar 3.900 triliun rupiah).

Fakta ini menyebabkan tekanan depresiasi rupiah dan pelarian modal keluar atau capital outflow susah ditanggulangi. Apalagi faktor eksternal, seperti rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS dan sentimen negatif krisis utang Yunani, akan semakin mengarahkan aliran modal asing ke tempat yang lebih aman.

“Reformasi struktural secara holistik merupakan jalan satusatunya mencegah Indonesia jatuh dari ujung tunduk krisis menjadi pecah berantakan,” tegas Mudrajad.

Sedangkan pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Ahmad Zafrullah, mengatakan pemerintah perlu melakukan pembenahan mendasar fundamental ekonomi Indonesia agar tidak terpuruk kembali dalam krisis.

“Bila efek krisis utang Yunani dan dampak suku bunga The Fed bertemu dengan kondisi internal yang rapuh seperti sekarang maka kita akan jatuh lagi. Semua bergantung kita mau seperti itu atau bertahan. Kalau yang dilakukan pemerintah masih upaya sporadis tak akan besar dampaknya,” ujar dia.

Ahmad menjelaskan, upaya yang diperlukan adalah prioritas penggunaan APBN untuk keperluan pembangunan yang nyata.

“Kebijakan fiskal harus dilonggarkan untuk pembangunan yang masih terbelakang seperti jaringan infrastruktur dan pertanian, bukan dihabiskan untuk bunga obligasi rekap, yang berdampak menambah utang lagi seperti Yunani.”

Substitusi Impor

Suharto berpendapat jika melihat defisit neraca perdagangan semestinya tim ekonomi Jokowi fokus pada industri subtitusi impor dan mengoptimalkan eksekusi rencana hilirisasi produk nonindustrial seperti perkebunan dan pertanian, bukan malah sebaliknya, seperti keputusan impor gula yang terjadi April yang lalu.

“Dengan respons cepat dan tepat, tidak ada peluang bagi oposisi untuk memancing di air keruh seperti revisi UU KPK, dana aspirasi, yang makin membuat kepercayaan pasar dan rakyat turun, dan justru menyulitkan perbaikan ekonomi,” kata Suharto.

Ia memaparkan dalam jangka pendek, ekspor produk pertambangan semestinya bisa dipermudah di saat sektor industri dalam negeri terpukul depresiasi rupiah. Sementara dalam jangka menengah, hilirisasi produk non-industri harus segera tuntas dan menghasilkan produk yang berdaya saing global.

Dan yang tidak boleh dilupakan adalah dukungan terhadap sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang telah terbukti menyelamatkan Indonesia dari dampak krisis 1998. (Koran Jakarta)