Dampak Sosial Pengangguran Bakal Bebani Siklus Ekonomi fadjar June 25, 2015

Dampak Sosial Pengangguran Bakal Bebani Siklus Ekonomi

JAKARTA – Sejumlah kalangan mengingatkan pemerintah agar memperbaiki kinerja dalam penciptaan lapangan kerja. Pasalnya, seluruh data penting ekonomi mengindikasikan perekonomian saat ini dinilai jauh dari upaya penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja pada Februari 2015 mencapai 128,3 juta orang.

Dari jumlah itu, terdapat 7,45 juta orang yang menganggur. Sedangkan pada Februari tahun lalu, jumlah angkatan kerja sebanyak sebanyak 125,3 juta orang, dengan pengangguran sebanyak 7,15 juta. Kemudian jumlah penduduk yang tidak bekerja secara penuh mencapai 35,7 juta jiwa pada tahun ini.

Dari total tersebut, pekerja yang setengah menganggur dan bekerja paruh waktu masing-masing 10,4 juta jiwa dan 25,64 juta jiwa. Penambahan angka pengangguran itu disebabkan oleh tren perlambatan ekonomi Indonesia. “Kalau hal ini terus berlanjut, problem pengangguran akan menjadi masalah sangat serius.

Sebab, muara dari problem pengangguran adalah implikasi sosial yang tajam yang akan terasa 6 bulan setelah puncak depresi ekonomi berupa kriminalitas, prostitusi, dan problem sosial lain.

Hal itu tentunya akan makin memberatkan siklus perbaikan ekonomi. Gembelisasi akan jadi PR (pekerjaan rumah) maha berat,” ungkap pengamat ekonomi dari Asosiasi Ilmu Ekonomi dan Politik, Salamuddin Daeng, ketika dihubungi, Rabu (24/6).

Menurut dia, penyelesaian masalah pengangguran adalah muara dari seluruh kebijakan ekonomi, karena secara sederhana, pengertian ekonomi adalah tentang upaya menyiapkan lapangan pekerjaan. Akan tetapi, Salamuddin menilai seluruh kegiatan ekonomi negara dari Januari sampai Mei 2015, sebenarnya sudah bisa dikatakan penurunannya sudah parah.

Inflasi Mei lalu mencapai 0,50 persen, sementara inflasi tahunan di level 7,15 persen, angka yang sudah sangat tinggi. Yang kedua, lanjut dia, pertumbuhan ekonomi kuartal-I tahun ini hanya 4,7 persen, lebih rendah dari kuartal sama tahun sebelumnya, yang di angka 5,14 persen.

Bahkan, diperkirakan pada kuartal kedua ini, meski APBN sudah mengucur, momentumnya sudah terlambat dan pertumbuhan tidak akan naik dari kuartal satu. Beberapa survei menunjukkan hasi yang pesimistis, pertumbuhan diperkirakan hanya sekitar 4,2 persen.

Di perdagangan, menurut Salamuddin, data April 2015 juga menunjukkan penurunan. Kinerja ekspor menurun sementara impor naik. Kondisi bisnis di triwulan pertama juga menurun, optimismisme pebisnis jauh menurun. Pertumbuhan industri manufaktur besar pengolahan di kuartal pertama lalu juga turun 0,71 persen.

Hal itu diperparah dengan depresiasi rupiah terhadap seluruh mata uang mitra bisnis Indonesia seperti dollar AS, dollar Australia, yen Jepang, dan lainnya. S

ebelumnya, Ekonom UGM Yogyakarta, Fahmi Radhi, menilai ledakan pengangguran dan tren pemutusan hubungan kerja (PHK) saat ini sebagai akibat pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas warisan pemerintahan sebelumnya, yang gagal memperkokoh fundamental ekonomi Indonesia.

Untuk itu, pemerintahan jokowi diharapkan berani mengubah orientasi pembangunan ekonomi secara radikal untuk mengantisipasi dampak booming pengangguran yang menjadi momok setiap pemerintahan yakni pecahnya masalah sosial yang bisa berujung chaos.

“Pertumbuhan semu di era pemerintah sebelumnya yang 50 persen ditopang oleh konsumsi berbasis impor dan 50 persen lagi didominasi oleh ekspor sumberdaya alam, harus dituai buahnya pada saat ini,” ungkap Fahmi.

Gabungan persolan ekonomi, lanjut dia, yakni tren pertumbuhan yang melemah, dibarengi dengan inflasi tinggi dan depresiasi rupiah yang terdalam dalam 17 tahun terakhir, memunculkan bom waktu problem pengangguran yang kalau tak hati-hati disikapi bisa mendorong ke arah chaos.

Sangat Rapuh

Sedangkan pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengingatkan selain pengangguran yang meningkat dan pertumbuhan ekonomi paling rendah dalam kurun enam tahun terakhir, lanjut dia, pemerintah juga harus mewaspadai ketimpangan pendapatan, ditandai dengan kenaikan indeks Gini rasio.

“Gini rasio kita juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir, sebelumnya hanya 0,32, lalu merangkak hingga sekarang mencapai 0,41.” Menurut Salamuddin, penurunan kinerja perekonomian nasional itu disebabkan oleh Ledakan pengangguran bakal memicu masalah sosial yang bisa berujung chaos konsolidasi politik yang sangat rapuh saat ini.

Sistem politik yang ada saat ini tidak memungkinkan hadirnya presiden yang powerfull. Sebab, menteri mengabdi kepada kepentingan partai masing-masing, mereka terfragmentasi. Faktor kedua, terkait dengan pemerintah daerah yang terlanjur terbentuk oleh UU Otonomi Daerah yang makin menyulitkan pemerintah pusat memfokuskan kekuatan bersama demi tujuan bersama. n YK/SB/WP

Sumber: https://www.koran-jakarta.com