Jor-joran Kredit Properti Perparah Pengulangan Dosa Awal RI fadjar June 22, 2015

Jor-joran Kredit Properti Perparah Pengulangan Dosa Awal RI

AKARTA ndash; Langkah pemerintah Indonesia yang mengulangi kesalahan lama atau dosa awal seperti gejala krisis keuangan 1998 berupa penumpukan utang luar negeri hingga mencapai 300 miliar dollar AS (3.900 triliun rupiah) dan terjadinya tripel defisit, menyebabkan penyakit ekonomi nasional makin gawat.

Namun, kini pemerintah bukan hanya mengulang dosa awal tapi kondisinya juga diperparah dengan jor-joran pengucuran kredit properti yang spekulatif mencapai 700 triliun rupiah. Padahal, kredit macet sektor properti pada 1998 memicu perbankan kolaps yang berujung pada krisis keuangan nasional.

Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Ahmad Zafrullah, krisis moneter seperti 1998, kini hanya tinggal menunggu waktu karena sejumlah indikatornya sudah jelas, yakni kurs rupiah menurun drastis, ditambah tripel defisit yaitu defisit neraca perdagangan, defisit neraca transaksi berjalan, dan defisit APBN.

“Bukan mustahil Indonesia bisa terseret dalam krisis utang seperti Yunani. Makanya utang dan anggaran harus dikelola dengan benar, kalau tidak hati-hati dan tetap melakukan pembiaran-pembiaran, bisa saja Indonesia jatuh krismon lagi,” jelas dia ketika dihubungi, Jumat (19/6).

Pembiaran yang dimaksud, lanjut Ahmad, seperti menggunakan APBN untuk membayar bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan impor bahan pangan tanpa kendali yang memicu defisit tersebut.

Sebelumnya, Koordinator Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, mengatakan penyakit ekonomi itu dulu tertutupi oleh banjir likuiditas di pasar keuangan global karena bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menggelontorkan dana murah dalam program pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE).

“Dengan penghentian QE atau tapering off maka terjadi capital outflow di negara berkembang termasuk Indonesia. Akibatnya, penumpukan utang akan membengkakkan biaya dana dan merongrong anggaran negara yang dirancang defisit dengan tambalan utang,” papar Dani.

Ia menambahkan dalam situasi gawat seperti ini apabila sampai terjadi kredit macet besar-besaran di properti akibat pecahnya gelembung harga maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) harus bertanggung jawab. “Sebenarnya alokasi kredit diarahkan untuk sektor produktif, tapi saat ini semuanya disia-siakan untuk sektor konsumtif seperti properti. Inilah dosa awal yang diulang lagi oleh Indonesia,” tegas Dani.

Menurut dia, dalam situasi seperti ini sering terjadi blunder. Wapres terus memaksa BI Rate turun padahal rupiah hancur. OJK bahkan mau memaksa penurunan uang muka kredit konsumsi properti dan otomotif padahal daya beli tidak ada dan kredit macet (non-performing loans/NPL) di kedua sektor konsumsi besar itu sangat tinggi.

“Sementara kredit untuk sektor produktif telat dibahas. Saya kira ini terjadi bukan karena UMKM penyerap KUR buruk performanya, tapi karena kebijakan perbankan yang masih sangat buruk mengelola kredit kecil rakyat.”

Jaga Depresiasi

Sedangkan Ekonom UGM Yogyakarta, Denni P Purbasari, mengatakan BI harus terus menjaga agar depresiasi rupiah tidak kebablasan dengan menggunakan kurs riil jangka panjang sebagai acuan. Likuiditas juga mesti dijaga agar tidak terlalu longgar sementara pucuk pimpinan BI harus selalu memberi sinyal kebijakan dan komunikasi yang jelas, koheren, dan konsisten.

“Dan suku bunga jangan sampai ditekan-ditekan oleh siapapun untuk diturunkan, ini masa krusial jangan sampai mengambil kebijakan yang memberi sinyal buruk bagi pelaku pasar keuangan,” kata Denni.

Di sisi lain, tambah dia, pemerintah harus terus memberi sinyal bahwa reformasi telah dan terus dilakukan dan mesti menjaga ekpektasi publik dengan tidak memberikan pernyataan atau bahkan langkah-langkah yang menunjukkan ketidakpahaman akan situasi yang terjadi.

Penegakan dan kepastian hukum juga masih menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi setelah beberapa keributan politik hukum di awal pemerintahannya Deni mengharapkan pemerintah segera mengoreksi belanja negara dengan lebih realistis sehingga mampu menolong kuartal dua tahun ini dari perlambatan yang sudah terjadi di kuartal pertama akibat lambatnya belanja pemerintah.

Yang paling mendasar dalam persoalan percepatan belanja pemerintah ini adalah bagaimana mengatasi kebuntuan regulasi yang membelenggu langkah birokrat mengambil keputusan.

“Dan jangan memberikan pernyataan-pernyataan yang seakanakan mengarahkan kemana kebijakan moneter semestinya diambil. Seperti pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang meminta BI menurunkan suku bunga sebagai respons atas perlambatan pertumbuhan ekonomi, itu tidak tepat,” papar Denni. n SB/YK/WP

Sumber: Koran-Jakarta.com