Termasuk bentuk Bullying, ketika anak-anak dibandingkan dengan kawan atau saudaranya fadjar May 22, 2015

Termasuk bentuk Bullying, ketika anak-anak dibandingkan dengan kawan atau saudaranya

Ketika anak-anak dibandingkan dengan kawan atau saudaranya

‘Coba lihat kakakmu sama temanmu. Pintar, menang lomba, dan dipuji guru. Masak kamu gak bisa bisa kayak dia.’ Kalimat semacam itu sering terdengar bila orang tua mulai jengkel dengan kemampuan kemampuan anak. Namun, tahukah Anda, perbandingan yang keliru bisa berakibat buruk?

PUNYA anak yang berprestasi unggul, cerdas, dan berkarakter baik adalah harapan setiap orang tua. Tentu, ada kebanggaan jika si buah hati mampu menjadi sosok yang ‘sempurna’ di mata orang tua. Demi tercapainya harapan tersebut, orang tua melakukan berbagai hal agar si anak memiliki semangat untuk berprestasi. Salah satu caranya adalah membandingkan anak dengan sosok yang dianggap ‘ideal.’

Membandingkan seseorang dengan yang lain, rupanya, sudah menjadi budaya di masyarakat. Prestasi, kekayaan, penam pilan fisik, serta kepandaian merupakan hal-hal yang menjadi akar segala kompetisi, termasuk bagi anak-anak. Ketika melihat anak lain punya sesuatu yang dapat dibanggakan, orang tua merasa perlu membuat anaknya menjadi sosok yang juga bisa dibanggakan.

Nadia Sutanto SPsi MPsi, psikolog, menjelaskan bahwa perbandingan memang mampu memicu anak untuk lebih bersemangat mengejar prestasi. Dengan melihat kesuksesan orang lain, anak akan termotivasi untuk dapat menyamai kondisi orang tersebut. Alhasil, anak bakal memiliki motivasi dan daya juang yang tinggi. ‘Namun, bila perbandingan dilakukan secara keliru, anak akan merasa tidak dihargai,’ ujarnya. Itu tentu merupakan bullying karena anak merasa tidak nyaman dengan diri sendiri.

Kepercayaan diri anak bisa tergerus bila dalam perban dingan orang tua hanya melihat kekurangan dari diri anak. Nadia mencontohkan prestasi belajar. Misalnya, ada seorang anak yang mempunyai kemampuan akademis yang tidak maksimal. Orang tua tidak semestinya mengecap anak tersebut tidak mampu dan membandingkannya dengan orang lain yang lebih pandai.

Label ‘tidak mampu’ yang diberikan dari perbandingan akan membikin anak merasa dinomorduakan dan minder. ‘Setiap anak punya kemampuan yang berbeda. Kita tidak bisa melihat hanya dari hasil akhirnya, yakni nilai atau prestasi di sekolah,’ kata Nadia.

Selain kepercayaan diri berkurang, anak cenderung tidak menikmati proses dalam meraih prestasi. Dalam proses mencapai targetnya, dia bakal dibayang-bayangi ketakutan kalau tidak bisa seperti orang lain. Akibatnya, anak menjadi tertekan dalam proses apa pun, termasuk belajar. Jika gagal, anak akan stres lantaran merasa tidak mampu memenuhi harapan orang tua.

Perbandingan juga bisa berdampak pada konsep diri anak. Konsep diri itu terbentuk dari gabungan dua hal, yaitu self image (gambaran diri) dan ideal image (gambaran ideal yang diharapkan lingkungan atau budaya). Biasanya yang menjadi pembanding adalah sosok yang memiliki ideal image.

Makin sering anak dibandingkan dengan sosok ideal image, self image-nya akan makin rendah. Anak bakal merasa dirinya inferior alias tidak memiliki kebanggaan karena tidak dapat menjadi sosok ideal.

Nadia lantas menyebutkan cara yang tepat untuk melakukan perbandingan. Psikolog Universitas Surabaya itu lebih setuju jika dalam perbandingan orang tua lebih melihat proses dan hal positif dari sosok pembanding. Bila ingin anak terpacu, orang tua jangan hanya berkata ‘Tuh lihat, nilainya bagus dari nilaimu’ atau ‘Masak kamu gak bisa dapat nilai 90’.

Alih-alih demikian, orang tua harus menjelaskan proses yang dilakukan, belajar yang rajin dan intens. Kalimat yang tepat bagi anak seperti ‘Wah, dia dapat nilai bagus karena rajin belajar. Kamu juga bisa lho dapat nilai bagus kalau rajin seperti dia’.

Nadia lalu menutup dengan satu masukan yang baik. Intinya, perbandingan muncul lantaran orang tua tidak bisa menerima anaknya secara utuh dan apa adanya. ‘Cintai mereka apa adanya sambil terus memotivasi mereka untuk menjadi lebih baik,’ tandasnya, lantas tersenyum. (len/c14/dos)

Anak Juga Membandingkan Diri

LINGKUNGAN dan budaya juga melahirkan kebiasaan membanding-bandingkan. Mungkin beberapa orang tua tidak suka membanding-bandingkan anaknya. Namun, bisa jadi si anaklah yang suka membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Itu bisa terjadi karena pengaruh lingkungan pergaulan maupun budaya tempat si anak belajar dan bermain.

Biasanya, anak akan membandingkan barang kepunyaannya dengan orang lain. Yang paling sering adalah mainan. Bila melihat temannya memiliki mainan yang tidak dimilikinya, dia akan merasa tersaingi. Si anak lalu akan memaksa orang tua untuk membelikan barang tersebut.

Kebiasaan si anak yang membandingkan kepunyaannya dengan orang lain tentu memiliki dampak buruk. Anak jadi tidak bisa mensyukuri apa yang dia miliki. Kalau sudah begini, orang tua harus ambil tindakan. Tanamkan pada anak bahwa barang yang dia inginkan belum tentu dia butuhkan atau bahwa kita tidak bisa memiliki semua yang kita mau. ‘Cukup katakan ke anak, ’Kamu bisa tetap hidup tanpa barang itu, kan?’,’ jelas Nadia.

Selain barang kepunyaan, anak kerap membandingkan prestasi atau kekayaan dengan teman yang lebih pandai atau kaya. Hasilnya, anak menjadi kurang percaya diri. Karena itu, orang tua bisa mengajak anak untuk melihat film atau video motivasi. Media apa pun bisa menjadi sarana bagi orang tua untuk menghentikan kebiasaan anak yang suka membanding-bandingkan diri.

Yang pertama adalah film atau video yang menunjukkan orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik atau ekonomi. Dari situ, anak akan belajar untuk lebih bersyukur dan tidak membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. ‘Namun, orang tua juga harus mengajarkan mereka agar tidak sombong. Sebab, orang yang unggul dalam perbandingan sering kali merasa selalu nomor satu,’ terang Nadia.

Yang selanjutnya adalah film atau video mengenai perjuangan. Misalnya, kisah seseorang yang memiliki keterbatasan fisik, namun mampu berjuang meraih prestasi. Dari situ, anak bisa belajar menjadi lebih baik tanpa harus membandingkan diri dengan orang lain. Anak juga bisa menjadi lebih percaya diri dan termotivasi untuk maju. (len/c23/dos)

Sumber: Jawa Pos, 21 Maret 2015