Silampukau, Duo Musisi Folk Semerdu Kepodang fadjar May 15, 2015

Silampukau, Duo Musisi Folk Semerdu Kepodang

Jadikan Tambak Bayan Monumen Dosa, Kota, Kenangan

Mengalunkan musik sendu dengan lirik-lirik kritis. Penampilan duo Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening menjadi khas karena hampir semua lagu bergenre folk yang mereka bawakan itu bercerita tentang Surabaya. Mulai permasalahan sosial, suasana kota, hingga perempuan penghiburnya. Inilah Silampukau.

FARID S. MAULANA

SIANG, 19 April lalu suasana di Kampung Tambak Bayan tidak terlihat seperti biasa. Di salah satu sudut, beberapa anak muda mempersiapkan alat musik, sound system, dan perlengkapan lain yang dibutuhkan untuk menggelar sebuah pertunjukan musik.

Beberapa penduduk membantu. Satu per satu alat tertata rapi di salah satu bangunan kolonial Belanda di tengah kampung itu. Bangunan utama bekas kandang kuda tersebut disulap menjadi panggung musik dengan desain artistik. Senyum puas terlihat pada wajah-wajah yang bekerja keras sejak siang untuk mempersiapkan semuanya.

Saat matahari akan beranjak tidur, suasana bangunan yang juga difungsikan sebagai ruang serbaguna tersebut didatangi warga, keluarga, dan sahabat dari sebuah band indie Surabaya bernama Silampukau.

Jelang senja itu, band yang beranggota Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening tersebut merilis full album pertama mereka yang bertajuk Dosa, Kota, Kenangan. Sebelumnya, duo yang sama-sama memegang gitar sekaligus menjadi vokalis itu mempunyai minialbum berjudul Sementara Ini.

Suasana bangunan yang ditinggali 30 kepala keluarga tersebut menjadi begitu hidup. Mereka yang tinggal di sayap-sayap bangunan ikut bergairah saat mendengarkan alunan musik folk. Berdentang sederhana dengan daya tarik begitu besar untuk didengar. Permasalahan sengketa tanah di kawasan itu sejenak sirna oleh lagu-lagu Silampukau.

Tubuh penonton pun bergerak beriringan dengan nada-nada syahdu. Tak lupa, senyum merekah dan tepuk tangan meriah setiap satu lagu selesai dibawakan. Ada sepuluh lagu yang mereka hadirkan.

Tak tampak perbedaan nyata meski mayoritas penonton adalah etnis Tionghoa. Mereka berbaur, bercengkerama, bahkan tertawa bersama dengan penonton dari luar kampung. Seakan menyadari, band yang tengah menghiburnya itu adalah saudara. Anak-anak muda Surabaya yang peduli dan ingat akan perjuangan mereka mempertahankan tanah leluhur.

Kharis mengatakan, Tambak Bayan adalah satu gambaran yang ada di dalam album terbaru mereka. Bercerita tentang permasalahan sosial di Surabaya, Kharis menganggap Tambak Bayan adalah simbol yang tepat untuk mewakilinya. ”Kami ingin merekam Kampung Tambak Bayan di dalam ingatan sebagai bagian dari Surabaya lewat pertunjukan musik,” ujarnya.

Semangat dan harapan warga Tambak Bayan terekam jelas di ingatan Kharis. Minimnya fasilitas kota di tempat itu meyakinkan alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga tersebut memilih Tambak Bayan sebagai tempat peluncuran album baru. ”Kami ingin menghibur mereka, memberikan harapan bahwa mereka masih bagian dari Surabaya,” tegasnya.

Ide awal menjadikan Tambak Bayan sebagai lokasi untuk launching album berasal dari seorang seniman bernama Redi Murti. Kharis menjelaskan, saat Redi mengadakan pameran bertajuk Hidup di Tanah Sengketa, dirinya langsung tertarik dengan Kampung Tambak Bayan. ”Redi lalu mengajak kami ke Tambak Bayan. Satu kata saat itu yang ada di pikiran kami, keren,” kata Kharis yang menceritakan momen pertama mereka datang ke kampung di kawasan Surabaya Utara tersebut.

Eki menambahkan, saat datang pertama, dirinya hanya bisa kagum. Suasana kampung terasa asing baginya yang sudah terbiasa dengan hiruk pikuk metropolis. Bangunan-bangunan kolonial tegak berdiri. Warga kampungnya masih memegang teguh adat istiadat leluhur serta memori tentang sejarah begitu terkenang di benaknya kala itu. ”Gambaran kecil dari Surabaya, sebuah sudut yang sangat asing bagi kotanya sendiri,” ujarnya.

Dari situlah mereka membuat konsep pertunjukan musik. Senada dengan itu, album yang sedang digarap memang berkisah tentang hal-hal yang mereka jumpai sehari-hari di Surabaya. ”Lalu berpikir, kenapa kita nggak launching di Tambak Bayan saja,” ujar Kharis.

Cover album yang menggambarkan suasana perkampungan lama di Surabaya semakin mempertegas keinginan mereka untuk segera mengadakan pertunjukan di Tambak Bayan. ”Syukurlah, akhirnya keinginan itu bisa terwujud,” cetus Eki.

Pria berjanggut tersebut mengatakan, seharusnya kampung seperti Tambak Bayan tetap dipertahankan. Sisa sejarah dari bangunan-bangunan yang masih berdiri di sana merupakan salah satu warisan berharga.

Kharis dan Eki hanya berharap Kampung Tambak Bayan tetap ada. Mereka mengajak masyarakat Surabaya yang lain untuk turut peduli. ”Bikin acara di sini, ngelakuin kepedulian di sini biar Tambak Bayan bisa hidup lagi, dipandang sebagai bagian dari kota ini,” harap mereka.

Jarangnya musisi Surabaya saat ini yang bercerita tentang Kota Pahlawan menjadi keprihatinan tersendiri bagi mereka. Rasa kebanggaan sebagai masyarakat Surabaya perlahan luntur karena tergerus invasi budaya modern. ”Kami musisi. Kami bernyanyi tentang kota kami. Profesi lain bisa melakukan yang sama biar ada kebanggaan menjadi anak Surabaya,” tutur Kharis.

Silampukau berencana mengadakan tur di beberapa kota Jawa-Bali. Pertunjukan di Tambak Bayan dijadikan momen, semangat, dan pengingat. Mereka akan terus menyuarakan keadaan sosial warga Surabaya yang terimpit pesatnya kemajuan kota. Mereka akan terus bernyanyi, menceritakan sisi-sisi gelap di antara gemerlap lampu kota terbesar kedua di Indonesia ini.

”Kami akan terus berkarya, menceritakan pengalaman hidup di Surabaya. Agar kami terus ingat, kota ini sudah memberikan keluarga, saudara, sahabat, dan pemikiran-pemikiran dalam lagu-lagu Silampukau,” papar Kharis.

Silampukau dimulai ketika Eki dan Kharis bermain bersama di salah satu orkes keroncong yang dibina Jathul Sunaryo, tokoh keroncong di Kampung Petemon. Pria itu berjasa bagi awal karir musik mereka. ”Beliau guru kami secara moral,” ungkap Kharis.

Dari situlah mereka memutuskan berkolaborasi dan membentuk Silampukau. Arti Silampukau adalah kepodang, burung kuning keemasan yang indah dengan kicauan merdu. ”Mereka adalah biduan di alam raya. Orang-orang Melayu lampau memanggil burung itu Silampukau,” tegas Eki yang merupakan sarjana psikologi dari Ubaya itu.

Pada 2009 mereka mengeluarkan minialbum berjudul Sementara Ini. Respons positif dari penyuka musik folk dengan cepat mereka dapatkan. Tapi, hal tersebut bukanlah jaminan untuk rajin berkarya. Butuh waktu enam tahun lagi sampai album Dosa, Doa, Kenangan itu hadir.

Masa hiatus begitu lama memberikan sesuatu yang baik dalam internal mereka. ”Selama masa vakum itu, kami berdua mengalami proses panjang dalam segala hal yang memperkaya pengetahuan bermusik,” kata Kharis.

Lagu-lagu di album terbaru bersuara tentang Surabaya. Lagu berjudul Si Pelanggan, misalnya, menceritakan Dolly yang begitu terekam di dalam ingatan masyarakat Surabaya. Ditambah dengan denting piano, liriknya begitu puitis.

Lalu ada lagu berjudul Bianglala. Lagu tersebut menceritakan Taman Hiburan Rakyat yang sudah menjadi ikon Kota Surabaya dan masyarakatnya. ”Kami hanya menulis, membuat lagu, dan berkarya melalui apa yang kami lihat sehari-hari,” ujar pira berkacamata tersebut.

Selain itu, ada lagu Doa 1 mengenai mimpi mereka bermusik indie di Surabaya, Bola Raya bertutur tentang anak-anak yang mencari tempat bermain bola, serta Malam Jatuh di Surabaya. (*/c7/ayi)