Bagaimana Bangsa Besar Menghadapi Korupsi? fadjar May 12, 2015

Bagaimana Bangsa Besar Menghadapi Korupsi?

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Indonesia diakui atau tidak secara resmi, termasuk bangsa yang besar karena banyak yang mempertimbangkan ke depannya akan mampu bersaing dalam kancah internasional serta menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan. Bangsa yang memiliki sejarah panjang di masa lalu dengan kekuatan agraria dan maritimnya. Bangsa yang memiliki kekayaan budaya, bangsa yang memiliki kekayaan sumber daya alam, dan sumber daya manusia yang melimpah. Namun, apa yang akan diingat mengenai bangsa Indonesia pertama kali, salah satunya yang akan diingat adalah surganya bagi pelaku korupsi paling tidak hingga saat ini. Perilaku korupsi yang semakin hari semakin memprihatinkan tumbuh subur di Indonesia.

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar telah berhasil melepaskan diri dari penjajahan. Berhasil mengisi kemerdekaan dengan memajukan bangsa dalam banyak bidang kehidupan sehingga dapat sejajar dengan bangsa lain. Namun, hingga saat ini belum berhasil melawan perilaku korupsi. Korupsi memang tidak akan bisa benar-benar dihilangkan, namun paling tidak harapan untuk mengurangi korupsi seharusnya dapat segera terwujud. Sayangnya hal itu masih belum tercapai, masih banyak pelaku korupsi yang dapat menghirup udara bebas meski sudah terbukti melakukan perilaku korupsi.

Korupsi yang didengung-dengungkan sebagai produk dari sejarah orde baru, sehingga sangat menggurita dan sulit dihilangkan. Di masa reformasi ternyata perilaku korupsi semakin banyak terjadi. Banyak tokoh pemerintahan, yang menjadi harapan rakyat untuk melakukan perubahan mewujudkan pemerintahan yang jujur, transparan, bersih dari korupsi, ternyata juga terbukti menjadi pelaku tindak korupsi. Anggota dewan juga tidak terlepas dari perilaku korupsi, bahkan yang sangat mengecewakan mereka yang berteriak-teriak lantang tentang korupsi ternyata setali tiga uang, pelaku korupsi juga. Korupsi makin merajalela, dari level tinggi hingga level rendah dilakukan seakan menjadi perilaku yang biasa dan wajar dilakukan.

Saat ini sulit mendapatkan tokoh nasional yang dapat dijadikan panutan perilakunya. Saat menjabat posisi tertentu mereka terlihat bersih, namun setelah tidak menjabat lagi, dakwaan korupsi menghampiri mereka dan lebih parah lagi ternyata terbukti. Banyak kasus yang telah menunjukkan seperti itu. Mengapa perilaku korupsi makin menjadi dan seolah-olah terjadi korupsi dalam bentuk massal?. Jawabannya mungkin beberapa sebab, misalnya karena terjadinya aji mumpung, yaitu mumpung menjabat dan untuk menjabat tidak mudah, butuh uang sebagai modal, maka selama menjabat harus memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan yang ada sebagai bentuk balik modal seperti hitungan dagang, termasuk memperkaya diri dengan jalan pintas melalui korupsi. Sudah digaji tinggipun tetap melakukan korupsi, tamak sekali dan menggambarkan harta atau kekayaan sebagai tujuan dan ukuran keberhasilan dalam menjabat.

Selain itu karena moralitas ataupun karakter yang rendah. Mereka mengetahui perilakunya salah, namun hanya sebatas kognitif, tetapi nuraninya sudah tidak dijadikan pembeda benar dan salah. Mereka tidak malu melakukan korupsi meski rakyat berteriak-teriak memprotes dan berdemo. Korupsi jalan terus. Sekarang sudah ada pendidikan anti korupsi, dengan harapan generasi muda menjadi mengetahui tentang perilaku korupsi termasuk pelanggaran hukum dan harapannya kelak tidak melakukannya. Namun, apabila banyak kasus korupsi secara nyata tidak tertangani dengan benar, termasuk pembuktian dan hukumannya, maka generasi muda dikhawatirkan hanya mengetahui perilaku korupsi tidak benar secara kognitif. Karena banyak contoh perilaku korupsi, maka dikhawatirkan generasi muda pada masanya, juga akan melakukan perilaku yang sama. Jadinya korupsi lintas generasi, seperti yang terjadi sebelumnya yaitu korupsi lintas era pemerintahan orde baru ke reformasi.

Kemudian, dapat disebabkan juga karena tidak tegasnya pembuktian dan hukuman yang setimpal bagi pelaku korupsi. Penegakan hukum tentang korupsi masih bersifat tebang pilih. Bandingkan dengan hukum bagi pencuri ayam, pencuri sandal di masjid, atau pencuri satu batang kayu jati di hutan lindung, hukumannya sangat tegas dan jelas. Bagaimana dengan pelaku korupsi? Ternyata tidak demikian. Mungkin cara penanganan yang berbeda karena berbeda kasus, mulai dari pemanggilan keterangan, pencarian saksi, hingga diputuskan bersalah. Nah, ketika diputuskan bersalah masih memungkinkan pembelaan lanjutan, bahkan masih bisa menghindar, ataupun ketika mendapatkan hukuman kurungan, dapat memilih sel yang nyaman. Sungguh ironi untuk perilaku kriminal yang merugikan banyak pihak untuk kepentingan pribadi.

Bangsa kita seharusnya bisa meniru Cina, yang memperlakukan pelaku korupsi secara tegas. Tidak melihat siapa orangnya, ketika sudah terbukti korupsi akan ditindak dengan tegas dan hukumannya jelas berat. Dengan hal ini dapat memberikan efek jera pada yang lain, sehingga tidak melakukan perilaku korupsi. Bangsa kita terkenal kolektivis, sehingga seringkali budaya sungkan menghinggapi pihak berwenang ataupun berkuasa untuk mengungkap pelaku korupsi. Belum lagi apabila ada hutang budi di masa lalu untuk kesuksesan di masa sekarang. Sulit membedakan masalah secara profesional dan pribadi, sehingga yang terjadi seolah-olah melindungi ataupun menutup kasus korupsi yang terjadi.

Bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang religius, banyak agama di Indonesia dan banyak yang menganut agama sebagai kepercayaannya. Seharusnya agama mengajarkan kebaikan, menuntun jalan hidup yang santun, bermoral, serta kebajikan yang mewarnai kehidupan penganutnya. Namun mengapa orang-orang yang religius atau menganut agama tertentu, masih melakukan perilaku korupsi? Tentunya jawabannya adalah karena religiusnya masih di level praktek saja, sehingga kehidupan dunia dan agama terpisah seperti dikotomi yang tidak saling berkaitan. Pelaku korupsi bisa sangat khusyuk dalam berdoa, namun juga sangat tekun dalam korupsi. Seharusnya agama yang dianut dapat menjadi kontrol bagi perilaku, tetapi nyatanya tidak.

Dampak dari pelaku korupsi sudah sangat jelas, berapa banyak kebocoran keuangan negara yang terjadi karena korupsi. Berapa banyak projek besar untuk negara tertunda karena anggarannya terkorupsi? Bangsa kita belum sepenuhnya belajar dari dampak-dampak korupsi, sehingga pejabat-pejabat baru seakan tidak mau kalah dengan pejabat sebelumnya dalam melakukan korupsi. Sekarang mari kita tunggu saja, bagaimana bangsa yang besar ini menangani perilaku korupsi. Harapannya bila benar-benar tertangani dengan baik, baik dengan undang-undang dan perangkatnya maka perilaku korupsi menjadi semakin berkurang. Semoga bangsa ini menjadi lebih maju dan mampu mensejahterakan rakyatnya.