IBU ANAK-ANAK PENGHUNI LAPAS fadjar April 21, 2015

IBU ANAK-ANAK PENGHUNI LAPAS

PROF. DR. YUSTI PROBOWATI”

Sehari-hari, ibu dua anak ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya). Ia adalah orang pertama di Indonesia yang memperdalam bidang psikologi forensik. Banyak aktivitas yang dilakukan, dari memberikan pelatihan investigasi psikologi kepada para penyidik KPK, hingga menjadi ibu dari anak-anak narapidana di Lapas Blitar.

Sebenarnya bidang apa, sih, psikologi forensik itu?

Psikologi forensik adalah penerapan ilmu psikologi tapi yang berkait dengan masalah hukum, terutama hukum pidana. Beberapa fungsinya di antaranya adalah mendampingi para saksi, korban maupun tersangka saat di kepolisian, kejaksaan maupun di pengadilan.

Contohnya?

Dulu saya pernah melakukan pendampingan seorang korban KDRT. Karena tekanan psikologisnya yang hebat, ia tidak bisa memberikan penjelasan dengan baik kepada penyidik sehingga perlu pendampingan selama pemeriksaan berlangsung.

Selain memperdalam ilmu psikologi, apa lagi yang dibutuhkan seorang yang memperdalam psikologi forensik?

Selain mempelajari ilmu psikologi, juga harus mempelajari sistem hukum yang ada. Dalam hal ini harus paham KUHP maupun KUHAP karena ini erat kaitannya.

Bagaimana awalnya Anda menekuni bidang ini?

Kalau menekuni psikologi memang menjadi keinginan saya sejak awal. Menjadi psikolog itu kan, bidang yang mengasyikkan karena memungkinkan untuk bisa bertemu, berbicara dan mempelajari karakter banyak orang. Tapi kalau pada akhirnya memilih psikologi forensik ata psikologi hukum itu memang tidak bisa lepas dari latar belakang bapak dan ibu saya, Kardjono Diposoekarso, SH, dan Djoewarin, SH, yang keduanya adalah hakim.

Ceritanya, ketika saya masih duduk di bangku sekolah, setiap hari saat makan bersama di meja makan bapak dan ibu seringkali berdiskusi tentang berbagai kasus yang mereka tangani. Karena itu sudah jadi kebiasaan setiap hari, jadi di alam bawah sadar saya tertanam tentang persoalan-persoalan hukum.

Kemudian?

Sesuai minat saya, tamat SMA saya diterima di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah lulus, saya diterima menjadi dosen di Ubaya Surabaya. Ketika menjadi dosen, saya mengupgradekemampuan kemampuan dan oleh kampus tempat saya mengajar, saya diminta melanjutkan S2 di UGM. Seperti yang saya sampaikan di atas, bahwa kasus-kasus hukum yang sering dibicarakan bapak dan ibu amat membekas, sehingga ketika ambil S2 tahun 1998, saya condong memilih tesis yang mengupas persoalan psikologis tetapi yang erat kaitannya dengan hukum. Terlebih lagi ketika dosen saya mengundang ahli hukum Prof. Bambang Purnomo.

Saya berpikiran, karena saat itu belum ada psikolog di Indonesia yang concern di bidang itu, sehingga kalau saya mendalaminya, maka kelak akan dikenal banyak orang karena kemampuan ini pasti banyak dibutuhkan. Dan memang benar, sejak dikukuhkan sebagai guru besar di tahun 2007, saya banyak diminta mendampingi orang-orang yang bermasalah hukum yang membutuhkan pendampingan.

Anda pernah dilibatkan dalam kasus apa saja?

Banyak sih, beberapa di antaranya adalah kasus penyerangan LP Cebongan, Sleman. Saat itu saya mendampingi salah seorang saksi atas permintaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kasus Ryan dari Jombang, dan baru-baru ini saya diminta polisi untuk ikut terlibat dalam melakukan analisa psikologis terhadap kasus KDRT yang mengakibatkan seorang istri sampai bunuh diri. Dalam kasus itu saya diminta menilai apakah istri yang bunuh diri itu akibat KDRT atau tidak.

Biasanya Anda dilibatkan secara langsung atau hanya menganalisa hasil pemeriksaan polisi?

Bisa dua-duanya. Kasus Ryan misalnya, oleh teman-teman di Mabes Polri saya diminta melakukan pemeriksaan secara langsung. Demikian pula dalam kasus Cebongan, saya mendampingi seorang saksi secara langsung.

Anda juga pernah dilibatkan dalam pemeriksaan tersangka KPK?

Ya, beberapa kali saya dilibatkan ketika KPK melakukan pemeriksaan pada tersangka. Saya dihadirkan karena tersangka selalu mengelak dan mengaku lupa. Fungsi saya adalah untuk membantu penyidik apakah benar tersangka itu lupa atau bertendensi untuk bohong. Karena tersangka tidak mau interview secara langsung, akhirnya saya membantu penyidik melihat tersangka dari layar CCTV di ruang terpisah. Dari fungsi kognitifnya akan terlihat apakah orang ini bohong atau bohong-bohongan.

Untuk KPK, selain dilibatkan dalam menganalisa tersangka, sudah dua tahun ini saya juga diminta memberikan pelatihan investigasi psikolog kepada para penyidik KPK. Dalam kasus perdata, saya sering juga diminta hakim untuk membantu menetukan hak asuh pada kasus perceraian. Kami tidak berpihak pada salah satu orangtua tetapi berpihak yang terbaik buat anak.

Kalau diamati, bidang ilmu Anda ini sangat dibutuhkan, ya, saat ini?

Itu salah satu kenapa dulu saya memilih memperdalam bidang ini. Sekarang ini, dari hari ke hari makin meningkat kasus yang membutuhkan penanganan seorang psikolog forensik. Baik itu yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak. Karena itu, mahasiswa S2 saya wajibkan masuk Lapas Medaeng Surabaya untuk mendampingi para tersangka atau terpidana. Tujuannya untuk melakukan pengkajian, kenapa sih mereka ini melakukan tindak pidana? Kami mencoba menarasikan dari sejak kecil hingga saat ini. Dari sana akhirnya bias disimpulkan bahwa perbuatan yang mereka lakukan saat ini adalah akibat masa lalunya. Selanjutnya, kami akan melkukan “pengobatan” dengan berbagai cara, misalnya psikoterapi, konseling, hipnoterapi dan sebagainya.

Omong-omong, Anda juga aktif di bidang penanganan di Lapas Anak?

Betul. Ceritanya setelah lulus doctor tahun 2001, saya berpikir apa yang bisa saya perbuat untuk sekeliling saya. Nah, di Blitar ada Lapas khusus anak yang tentu butuh seorang psikolog yang mengerti tentang hukum. Kemudian saya mencoba masuk ke sana.

Apa tanggapan mereka?

Pertama kali saya masuk, petugas di sana heran, “Apa tidak salah Ibu masuk kemari. Seorang psikolog bisa berbuat apa di sini?” kata petugas. Bagi mereka, bidang ilmu saya dianggap tidak relevan. Tapi saya tidak patah arang dan berusaha meyakinkan mereka. Beruntung saat itu saya bertemu dengan Margret Rusler, PhD, ahli psikologi klinis berkebangsaan Jerman. Akhirnya mereka meminta saya untuk mengajaknya ke Lapas Blitar.

Nah, di sana Margret kaget dan prihatin melihat kondisi psikologis anak di dalam Lapas. Menurut Margret, seharusnya anak-anak narapidana itu didampingi seorang psikolog seperti halnya di luar negeri.

Akhirnya kami berdua setiap dua atau tiga bulan sekali datang kesana untuk member terapi. Kebetula Margret tinggal di Bali. Baru sekitar tiga tahun kemudian kami berdua menemukan formula yang tepat untuk menghadapi mereka dengan baik.

Melakukan terapi dengan anak bermasalah itu jauh lebih sulit ketimbang anak biasa. Cara yang dilakukan Margret diantaranya menggunakan teknik meditasi, karena mereka ini banyak sekali tekanan. Nah, dengan meditasi mereka akan lebih relaks dan nyaman.

Lambat laun, antara kami dengan anak-anak jadi makin dekat secara batin dan mereka merasa membutuhkan kami. Anak-anak itu selalu menanyakan “Ibu kapan datang lagi” Kadang mereka menggambar atau menulis sebait kalimat yang mengharukan buat kami, seperti “I Love You Yusti dan Margret.” Ha ha ha.

Berikutnya yang kami training tak hanya napi anak saja tetapi juga petugas Lapas. Kami melakukan itu karena ada cerita yang melatarbelakanginya.

Cerita apa itu?

Suatu ketika ada seorang napi anak bernama Jer yang sehari sebelumnya sempat mau bunuh diri dengan menyilet nadinya. Untung sempat ketahuan. Karena petugas Lapas tidak tahu terapinya, untuk mengalihkan pikiran, Jer diberikan kesibukan. Padahal kurang tepat. Saya kemudian ajak petugas Lapas menemui Jer supaya tahu bagaimana caranya menerapi anak yang bermasalah seperti itu. Jer saya pegang pundaknya sambil saya Tanya apa sebenarnya yang terjadi? “Bu, percuma saya hidup, toh kedua orangtua sudah tidak ada. Kalau sekarang saya meninggal, bapak ibu di sini, kan, malah senang, tidak repot lagi karena anaknya hilang satu.” Ungkap Jer.

Lalu dia saya nasihati, sekaligus saya sampaikan kepadanya kalau dia berkenan, saya bersedia dijadikan pengganti orangtuanya. Dari percakapan panjang itu, batin Jer kembali tenang dan dia menjalani sisa hukuman dalam kasus pembunuhan dengan baik.

Intinya anak yang bermasalah harus diperlakukan dengan lembut, diajak ngobrol supaya mereka mau curhat. Mereka ini perlu didengar dan dipahami. Kalau mereka sudah mau cerita, berarti setengan dari bebannya berkurang.

Teknik melakukan pendekatan pada anak itu akhirnya kamu ajarkan pula kepada para sipir. Beruntung, tahun 2009 Margret dapat koneksi dari sebuah lembaga dari di Jerman yang bersedia membiayai pembuatan modul buku dan DVD selama kami di Lapas yang dijadikan buku panduan training bagi petugas Lapas. Lapas yang kami training di antaranya Lapas Anak Blitar, Tangerang, Kutoarjo dan Karangasem (Bali).

Ada cerita lain yang mengharukan ketika berhubungan dengan anak-anak Lapas?

Banyak sih, tetapi saya punya cerita yang menurut saya cukup menyentuh. Suatu ketika menjelang lebaran, anak-anak Lapas mengaku sedih tidak bisa bertemu dengan orangtua karena rumah mereka cukup jauh. Anak-anak tersebut meminta saya, kalau bisa datang pas Lebaran. Tapi susah juga kan memenuhi keinginan mereka itu. Akhirnya saya tawarkan, apa yang bisa menggantikan keceriaan di hari Lebaran? “Saya ingin makan enak”, kata mereka. “Baik kalau gitu nanti akan saya beri uang buat makan rame-rame. Memangnya kalian minta makan enak apa sih?” tanya saya. “Saya ingin makan mie ayam dan bakso, Bu,” kata mereka. Saya sangat terharu. Pikiran saya, yang disebut enak itu pizza atau burger, eh ternyata mie ayam dan bakso sudah istimewa bagi mereka.

Selain menangani anak Lapas, Anda juga mendirikan rumah sebagai shelter bagi anak-anak tersebut selepas keluar dari penjara?

Ya, tahun 2011, saya bersama Margret mendirikan Rumah Hati (RH) di Jombang. Rumah ini menjadi tempat bagi anak-anak yang sudah keluar dari Lapas. Mereka boleh tinggal disana selama 6 bulan. Selama itu mereka didampingi psikolog, para mahasiswa kami yang sudah lulus. Yang kami utamakan adalah yang sudah tidak punya keluarga. Selama di shelter, selain mendapat pendampingan psikologi, mereka juga diajari keterampilan atau kursus sesuai keinginan mereka. Ada yang pilih otomotif, tukang pijat, servis handphonedan sebagainya.

Bercermin dari berbagai masalah di atas, bagaimana sih, membentuk anak-anak yang baik?

Semua berawal dari keluarga. Persoalan anak pasti berawal dari persoalan keluarga. Karena apapun, orangtua menjadi panutan bagi anak. Yang membuat saya makin miris, jumlah anak yang bermasalah dengan hukum meningkat tajam. Dulu tahun 2007 ketika pertama kali saya masuk Lapas Blitar, jumlah narapidana sekitar 80an anak, tapi tahun 2015 ini membengkak menjadi 240 anak.

Selain orangtua, jumlah anak bermasalah bisa ditekan dengan membuat system penguatan berbasis keluarga. Misalnya, menghapus program TKW. Tidak ada ceritanya seorang anak ditinggal ibunya dalam waktu cukup lama yang tidak bermasalah. Dalam proses perkembangannya anak tidak sekedar butuh uang, tetapi juga butuh kasih saying dan pendampingan orangtua.

Apa artinya devisa Negara meningkat dari pemasukan TKW kalau keluarga yang ditinggalkan malah jadi berantakan? Itu tidak bisa dibantah lagi. Fakta yang saya temukan di lapangan selama ini memang demikian.

Omong-omong, bagaimana Anda mendidik anak-anak Anda?

Saya bersama suami, M. Pujiono Santoso (53), selalu berusaha menjalin komunikasi yang sangat baik dengan kedua anak saya, Annisa Rizky Ayu (25) dan Adistyana Damaranti (21). Artinya, sesibuk apa pun, jika mereka ada masalah atau mencari teman sharing, saya akan hadir untuk membantu. (Anak pertama Yusti mengikuti jejaknya dengan kuliah di fakultas psikologi Unpad Bandung sedang anak keduanya ikut jejak suaminya di bidang perbankan dengan kuliah di fakultas ekonomi akuntansi Unair Surabaya).

Tabloid NOVA (edisi 1416-XXVIII 13-19 April 2015)