Laurencia Ika, Pendiri Sekolah ABK fadjar April 15, 2015

Laurencia Ika, Pendiri Sekolah ABK

Mengajar Lagi karena Tangis Murid

Laurencia Ika mendedikasikan hidupnya di bidang sosial, khususnya untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Kesulitan membimbing mereka hingga musibah kebakaran yang melalap gedung sekolahnya tidak membuatnya berhenti.

RISTA R. CAHAYANINGRUM

LAGU Potong Bebek Angsa terdengar menyentuh di Sekolah ABK Cita Hati Bunda Jumat siang lalu (27/2). Dinyanyikan Yahya Setyawan, salah seorang siswa Sekolah ABK Cita Hati Bunda, nuansa ceria dalam lagu itu terasa syahdu. Dengan segala kekurangan, bocah 6 tahun itu
berusaha melafalkan syair dengan sempurna.

Siang itu Jefri ndash;panggilan akrab Yahya Setyawanndash; tidak sendiri dalam bernyanyi. Dia didampingi Ika. Perempuan 37 tahun itu samar-samar ikut membawakan lagu daerah Nusa Tenggara Timur tersebut. Sesekali Ika membenarkan ucapan Jefri yang kurang tepat. Setiap hari, kecuali Minggu yang menjadi hari libur, Ika selalu mendampingi siswa Cita Hati Bunda.

Gagas Berdirinya Asosiasi Lembaga Pendidikan ABK

Dia hampir tidak pernah absen mendatangi sekolah itu. Mengajar dan bercengkerama bersama anak-anak berkebutuhan khusus sudah menjadi rutinitasnya. Selain terapis, Ika memang pendiri sekolah itu.

Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Surabaya tersebut mendirikan Sekolah Cita Hati Bunda pada awal 2003. Alasannya, dia tertarik dengan ABK dan jatuh cinta pada mereka. ”Saya percaya, tidak ada ciptaan Tuhan yang tidak sempurna. Saya ingin menyempurnakan mereka (ABK, Red) saat banyak orang yang menganggap remeh anak-anak itu,” ujar Ika.

Perempuan kelahiran Surabaya, 9 Desember 1977, tersebut sudah lama berkecimpung di dunia sosial. Semasa kuliah, Ika telah menjadi volunter di lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan di Surabaya. Dia melakukan banyak hal. Salah satunya membina anak jalanan.

Ika mengatakan, selama mengajar anak jalanan, jiwanya terpanggil untuk menjadi guru. Berhubung menyandang gelar sarjana psikologi, Ika memilih mewujudkan keinginan itu dengan menjadi terapis ABK. Pada 2002 Ika berhenti menjadi petugas konseling dari LSM itu. Lalu, awal 2004 dia mengajar di salah satu sekolah ABK di Surabaya. ”Semakin hari, saya semakin cinta pada mereka. Saya semakin penasaran,” ungkap Ika.

Setahun berikutnya, Ika keluar. Bukan karena tekadnya luntur, Ika justru ingin lebih mendalami ABK dengan membuka les privat di rumahnya. Dia memanfaatkan kamar kecil di belakang rumah untuk mengajar.

Saat pertama membuka les privat, Ika ”dititipi” satu siswa. Namanya Azarya Geraldo. Dia merupakan anak laki-laki dari keluarga tidak mampu yang menyandang autisme. ”Tapi, dia memiliki semangat yang tinggi dalam belajar. Dia juga inspirasi saya untuk survive dengan pilihan membuka sekolah ABK sendiri,” ujar Ika.

Tidak disangka, jumlah siswa Ika semakin banyak. Pada pertengahan 2007, Ika menyewa sebuah rumah di Perumahan Pucang Indah Sidoarjo. Cita Hati Bunda adalah nama yang dipilih untuk sekolah tersebut.

Semangat Ika membuat Cita Hati Bunda kian berkembang. Jumlah siswanya bertambah setiap tahun. Ingin siswanya mendapat pendidikan yang layak dengan lokasi sekolah lebih luas, Ika pindah ke salah satu tempat di Sidokare, Sidoarjo. Dia mengajak delapan guru dengan jumlah siswa 25 anak. Ika mengurus surat izin ke dinas setempat untuk pendirian sekolah tersebut. Semua dilakukan dengan bermodal uang tabungan.

Pada awal 2009 Cita Hati Bunda berpindah ke Bumi Citra Fajar. Tempatnya luas dan nyaman. Tragis, pada 2011, terjadi kebakaran hebat yang meluluhlantakkan bangunan sekolah. ”Saya sangat shock dan menangis terus,” ujar Ika.

Tidak ada korban dalam tragedi kebakaran tersebut. Meski demikian, kegiatan sekolah berhenti beberapa waktu. Ika down dan belum berpikiran untuk membuka sekolah lagi. Namun, pasca kebakaran, banyak orang tua yang menghubunginya. Mereka mengabarkan bahwa anak-anak menangis setiap hari karena tidak bersekolah. ”Saya dikasih tahu seperti itu kasihan juga. Akhirnya, saya mengontrak rumah kecil untuk sekolah mereka,” jelasnya.

Setahun setelahnya, dia kembali ke gedung Cita Hati Bunda yang kebakaran itu. Dia bersyukur memiliki siswa seperti siswanya saat ini. Dia juga merasa salut dengan guru yang mengajar di Cita Hati Bunda. ”Saat kena musibah, saya mempersilakan mereka resign. Saya tidak bisa menggaji karena sedang membangun gedung ini lagi,” ungkap Ika.

Sedikit demi sedikit, Cita Hati Bunda bangkit. Saat ini siswanya sebanyak 40 anak. Yang awalnya hanya tiga terapis, sekarang sudah ada 15 terapis. Idealnya, satu terapis memang hanya mendampingi satu ABK. Tujuannya, mereka lebih intens memberikan pembelajaran.

Menurut Ika, bukan hal mudah mengajar siswa ABK. Namun, mengajar mereka memberi kesan tersendiri. Pasti ada pengalaman unik yang bisa diceritakan ke orang lain. Dia mencontohkan Jefri. Siswa itu sangat kooperatif. Jefri sangat suka bernyanyi. Bertemu di mana saja, Jefri akan selalu bernyanyi untuk Ika. ”Ketemu saya di luar kelas, dia juga nyanyi. Lagunya bermacam-macam,” ujarnya.

Ika mengatakan, masih banyak keunikan yang dirinya temui dari siswa. Bagi Ika, mengajar siswa ABK sama halnya dengan melihat dunia dari sudut pandang berbeda. Dia percaya bahwa setiap rancangan Tuhan pasti memiliki tujuan. ”Saya tidak ingin mereka (siswa ABK) diremehkan,” ucap ibu tiga anak tersebut.

Perjuangan Ika di Cita Hati Bunda membuahkan hasil. Selain berhasil mengajari siswa ABK, dia meraih banyak penghargaan. Pada 2012 Ika menjadi pemenang kompetisi social entrepreneur yang diadakan sebuah majalah. Kemudian pada 2013, Ika menjadi wakil Indonesia pada Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali. Event tersebut diikuti womenpreneur se-Asia Pasifik.

Tahun lalu dia menjadi juara II dalam Indonesian Womenpreneur di Jakarta. Penghargaan tersebut seolah tidak ada apa-apanya dibandingkan kegigihan Ika merangkul ABK. Selain mendirikan sekolah, Ika merupakan perintis Asosiasi Lembaga Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ALPABK) Sidoarjo. Itu adalah asosiasi yang diikuti lembaga pendidikan ABK se-Sidoarjo.

Ika menuturkan, ALPABK didirikan karena dirinya ingin membuka link untuk siswa ABK. Sebab, tujuan ABK bersekolah adalah bisa survive di dunia luar. ”Kalau interaksinya hanya dengan teman sekolah, ya sama saja. Saya mendirikan itu supaya ada kegiatan rutin khusus untuk ABK di Sidoarjo. Misalnya, lomba atau sharing antarlembaga,” ungkapnya.

Dia menggagas ALPABK sejak 2012. Awalnya, hanya ada sembilan lembaga yang mau bergabung dengan asosiasi tersebut. Sebab, sebagian mereka masih menganggap tiap-tiap lembaga pendidikan ABK adalah rival.

Ika mengungkapkan, saat itu dirinya harus door-to-door untuk mengajak tiap-tiap lembaga pendidikan ABK bergabung. Lagi-lagi, kegigihannya membuahkan hasil. Sekarang hampir semua lembaga pendidikan ABK di Sidoarjo telah bergabung dengan ALPABK.

Setelah berhasil mengajak lembaga pendidikan ABK, kini targetnya adalah menggandeng pemerintah. Kondisi pendidikan formal saat ini masih belum mampu meng-cover se luruh siswa autis di Sidoarjo. Program inklusi pun belum bisa berjalan optimal. ”Programnya mungkin bagus, tapi tenaga pendidiknya tidak dimatangkan. Hasil pembelajarannya jadi tidak maksimal,” ungkap Ika.

Dia menambahkan, pemerintah saat ini masih belum care terhadap ABK. Mereka masih mengotak-ngotakkannya menjadi ABK ringan, sedang, berat. ”Dan, mereka hanya mau menerima yang ringan. Sedangkan yang berat mau ditaruh mana? Dibiarkan sekolah terus di lembaga-lembaga ABK,” keluh Ika.

Dia berharap pemerintah lebih membuka mata dalam menangani ABK. Memberi mereka beragam fasilitas untuk mengembangkan diri. (*/c7/ayi)

Sumber: Jawa Pos, 1 Maret 2015