Lebih ‘Peka’ pada Negeri Sendiri fadjar April 13, 2015

Lebih ‘Peka’ pada Negeri Sendiri

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang baru berumur lima bulan, sedang diterpa cobaan dengan bergulirnya kasus Cicak Vs Buaya jilid dua. Kali ini konflik terjadi antara Polri melawan KPK. Tentu saja hal itu menuai pro dan kontra yang menguras tenaga dikalangan masyarakat. Menanggapi persoalan tersebut, maka Departemen Mata Kuliah Umum (MKU) Ubaya, Fakultas Hukum Ubaya, serta DPD Peradi (Persatuan Advokat Indonesia) Jawa Timur untuk pertama kalinya mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Konsolidasi dan Prospek Penegakan Hukum Pasca Konflik Kelembagaan.”

Seminar yang diadakan di ruang pertemuan gedung perpustakaan lantai 5 Ubaya Tenggilis, pada 26 Maret 2015, dihadiri oleh berbagai kalangan. Mulai dari warga Ubaya sendiri seperti jajaran pimpinan seperti Prof Ir Joniarto Parung MMBAT PhD selaku rektor Ubaya dan Anton Prijatno SH selaku ketua Yayasan pun turut hadir, tak lupa juga dosen, alumni, mahasiswa, kemudian dari anggota Peradi dan I.A.I Jatim, jejaring Pusat Studi HAM, jejaring pengajar MKU Jatim, anggota Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jatim, jejaring Pusat Kajian Konstitusi Jatim turut meramaikan acara ini.

Acara ini dimulai pukul 09.00 WIB ndash; 17.00 WIB, yang dibagi dalam dua sesi dengan enam topik berbeda. Untuk sesi pertama berlangsung pukul 09.00 WIB ndash; 12.30 WIB. Sebagai pembuka, hadirin diminta berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, kemudian dilanjutkan dengan sambutan ketua MKU Ubaya, Dr J.M. Atik Krustiyati SH MS. Dalam pidatonya, beliau mengatakan, “Seminar Nasional ini diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan Dies Natalis Ubaya ke-47. Setiap tahun kami selalu merefleksikan apakah arah perjalanan Ubaya telah sesuai dengan tujuannya.”

Topik pertama yaitu “Penegakan Hukum Dan Pemenuhan HAM (Kasus Polri dan KPK),” yang disampaikan oleh Prof Dr Hikmahanto Juwana LLM. Beliau menuturkan bahwa konflik yang sedang bergejolak tersebut bukanlah kasus kelembagaan, melainkan kasus kriminalisasi. Serupa tapi tak sama juga menimpa nenek Suminah dari Bojonegoro yang akhir-akhir ini dibicarakan, sejatinya ia adalah korban dari kasus kriminalisasi karena adanya dendam dari pemilik tanah. “Akibat dari kasus-kasus kriminalisasi yang sudah marak di Indonesia, memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Oleh sebab itu, inilah yang menjadi PR bagi kita bersama untuk mengembalikan kembali rasa kepercayaan masyarakat,” tutupnya.

Kemudian topik selanjutnya “Aplikasi Acara Hukum Pidana Dalam Kasus Korupsi,” disampaikan oleh Dr Sudiman Sidabukke SH CN MH dari Fakultas Hukum Ubaya. Saat mengemukakan gagasannya, beliau membahas tentang penanganan kasus korupsi di Indonesia yang hukumannya belum setmpal dengan perbuatannya. Beliau menambahkan bawa di Eropa, Cina, serta Arab Saudi, pelaku korupsi bisa saja dihukum mati. Sedangkan di negara kita, tidak menutup kemungkinan jika tersangka mendapat keringanan masa tahanan.

Topik terakhir pada sesi pertama yaitu “Persoalan Etika dan Moral dalam Kehidupan Berdemokrasi di Indonesia,” yang disampaikan Prof Dr Melany Budianta dari Universitas Indonesia. Beliau membahas mengenai proses terbentuknya bangsa Indonesia, etika majemuk, penguatan moralitas untuk menjaga keadilan dan kepentingan bersama, pentingnya pendidikan hukum, dan sebagainya. Selain itu, beliau menekankan bagi mahasiswa terutama dari fakultas hukum, untuk tidak hanya sekedar mempelajari ilmunya saja tetapi harus mampu mengaplikasikan dalam kehidupan. “Jangan berpikir sempit tentang kelompoknya, tapi berpikirlah luas untuk Indonesia,” pesannya.

Banyaknya permasalahan politik di Indonesia membuat departermen Matakuliah Umum mengadakan sebuah seminar yang bertujuan untuk mencermati persoalan politik antar lembaga di Indonesia seperti KPK vs Polri dan supaya kasus ini tidak terjadi lagi. “Harapan kami daari seminar ini adalah bahwa departermen MKU dapat memberikan konstribusi dalam bentuk buku pada nilai-nilai Moral pada kelembagaan di Indonesia,” jelas Dr J.M. Atik Krustiyati SH MS.

Pada sesi 2 pembicara pertama adalah Pak Anton Prijatno SH. Beliau membawakan judul “Konsolidasi Demokrasi dan Lembaga Pasca Reformasi”. Beliau menjelaskan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia perlu dipertanyakan. Hal tersebut diidentifikasi dari awal lahirnya orde baru, dimana kekuasaan terbesar berada di tangan partai. Berbeda dengan jaman dulu dimana lembaga eksekutif lah yang membuat peraturan, dan legislatif tidak punya wewenang dalam hal tersebut. Dulu segala sesuatu dimonopoli oleh Negara, namun sekarang semua sudah didistribusikan ke masyarakat.

Sedangkan pembicara kedua, Dr Harjono SH MCL, membicarakan topik “Konstitusi Demokrasi Penantaan Kelembagaan Negara menurut UUD 1945, Antara Cita-Cita dan Realita”. Beliau menjelaskan bahwa ada banyak yang terjadi saat reformasi. Contohnya adalah harga tukar rupiah menurun sehingga membuat rakyat sengsara. Undang-undang selalu di ubah-ubah namun, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rajyat yang memilih dari 3 unsur yaitu Dpr, Dpd dan Esekutif.

Pembicara terakhir di sesi kedua adalah Drs Haryadi MSi yang membahas topik “Sistem Nilai dan Desain Kelembagaan dan Demokrasi”. Ia mengatakan demokrasi merupakan sebuah nilai yang dapat diandaikan dengan adanya internalisasi nilai keadaan politik (Political Civility) yang berperilaku dan berfikir pada kehidupan sosial dan politik. Dimana nilai-nilai tersebut ialah: Kebebasan, kemerdekaan, kesetaraan, solidaritas, toleransi, dll.

Beliau juga menambahkan bahwa dunia dulu mengatakan bahwa demokrasi merupakan dunia lelaki. Ya, memang benar dunia tidak pernah meminta pendapat wanita untuk menyelesaikan masalah dalam politik. Di Indonesia sendiri, wanita baru dapat berpolitik ketika R. A. Kartini seorang pahlawan wanita yang memperjuangkan harkat martabat wanita. Yaitu yang dalam bukunya yang berjudul “Habis Gelap terbitlah terang”. Hambatan-hambatan dalam menjalani Demokrasi sebagai nilai ialah: yang pertama Karena lemahnya masyarakat politik yang tidak mengetahui tentang nilai-nilai itu, kedua Lemahnya struktur dan infrastruktur Hukum untuk menghentikan suatu pelanggaran demokrasi, dan terakhir adalah lemahnya komitmen para kelompok pada nilai-nilai tertentu.

Para peserta mengikuti rangkaian acara ini dengan semangat. Waktu 6 jam bukanlah waktu yang singkat, namun peserta yang hadir sangat antusias bertanya seputar enam topik yang telah disampaikan oleh keenam pembicara yang membawakannya dalam dua sesi yang berbeda. Singkat kata, perbincangan soal demokrasi selalu hangat dan layak diangkat. Namun, semua tergantung bagaimana kita menyikapinya dengan baik. (ka, rps)