Cerita Miliki Blended Family fadjar March 31, 2015

Cerita Miliki Blended Family

Penuh Warna, Adaptasi Tiap Hari

Pernah menonton fi lm komedi romantis Blended yang diperankan Drew Barrymore dan Adam Sandler? Drew memerankan single mother yang bercerai dari mantan suami dan merawat dua putra. Sementara itu, Adam memainkan tokoh ayah tiga putri yang ditinggal sang istri meninggal. Mereka tidak sengaja bertemu dalam acara liburan dan akhirnya menemukan hal-hal yang membuat mereka merasa lebih baik untuk bersatu, menggabungkan keluarga (blended).

BLENDED family adalah keluarga campuran di tempat ada anak-anak dari ayah-ibu yang berbeda. Misalnya, yang tergambar pada keluarga Liza Marielly Djaprie, 37. Perempuan yang berprofesi sebagai psikolog tersebut menjadi ibu empat anak dari tiga suami berbeda.

Secara psikologis, Liza menuturkan, blended family bukan hal yang mudah. Intriknya akan lebih complicated ketika masing-masing membawa trauma dari pernikahan terdahulu. Perpisahan itu tidak selalu disebabkan perceraian, tetapi bisa juga karena pasangan berpulang. ‘Yang nggak rumit aja. Kondisi nya sudah cukup rumit dibanding kan dengan keluarga lainnya. Misal nya, si anak terbiasa sendiri, lalu tiba-tiba punya saudara baru, punya orang tua baru. Itu tidak mudah,’ kata Liza ketika ditemui di rumahnya di kawasan Bintaro, Kamis (26/3).

Perempuan kelahiran Jakarta, 10 November 1977, tersebut berbagi pengalaman hidupnya memiliki blended family. Sejarah hidup Liza penuh ‘drama’. Menikah kali pertama pada 2001, dia dikaruniai anak laki-laki, Taqi, lalu bercerai pada 2004. Liza sempat lama sendiri hingga menikah kali kedua dengan Wahyu pada November 2011.

Takdir tidak dapat diduga, Juni 2012 suaminya meninggal karena sakit. Padahal, ketika itu Liza tengah hamil 7 bulan. Dia menanggung dua duka. Duka sebagai istri serta duka melihat anak yang terguncang karena dia dekat dengan (alm) Wahyu yang dipanggilnya Ayah. ‘Saya menangis, tapi menangis dengan kenyataan bahwa ini harus dihadapi,’ tuturnya.

Anak kedua Liza lahir perempuan. Dia diberi nama Keeva. Saat ini usianya dua setengah tahun. Tidak disangka pula ketika pada 2013, dia bertemu dengan seseorang yang pernah dekat belasan tahun silam. Pria bernama Arief tersebut merupakan mantan pacar Liza semasa kuliah.

‘Kami dekat lagi, saling curhat, lalu menjadi serius. Kami menikah 1 Maret tahun lalu,’ ungkap Liza.

Ketika memutuskan menikah, Liza sudah memikirkan segala konsekuensinya. Arief sendiri pun pernah menikah, bercerai, dan memiliki satu putra, Raffi, yang tinggal dengannya. ‘Ini pilihan yang kami buat. Saya dan Arief harus bertanggung jawab dan menjalani dengan sebaik-baiknya,’ jelasnya.

Bagaimana Liza membuat blended family-nya berjalan nyaman? Ketulusan dan cinta menjadi fondasinya. Namun, menyatukan banyak karakter dengan value yang berbeda-beda membutuhkan adaptasi yang jelas tidak mudah. ‘Momen penting waktu kami duduk bareng berlima. Kami ngobrol dengan anak-anak. Kita menjadi keluarga. Setelah itu, Taqi langsung tidur sekamar dengan Raffi,’ tutur Liza.

Sebelumnya, dia mengobrol bertiga dengan Arief dan Raffi. Keluarga tersebut semakin ramai dengan kehadiran bayi laki-laki yang lahir pada 30 Desember 2014, Paz. Setahun berjalan, Liza merasakan kebahagiaannya kian lengkap. Penuh warna, proses adaptasi pun berlangsung setiap hari.

‘Liza yang membuat proses blending makin cepat. Anak-anak merasakan ketulusannya. Raffi melihat umminya benar-benar sayang sama dia,’ ungkap Arief.

Pria yang hobi diving tersebut melanjutkan, belajar beradaptasi dan menyatukan perbedaan-perbeadaan itu yang menjadi ‘keunikan’ blended family. Keluarga tersebut begitu hangat. Seperti yang tampak sore itu. Raffi bermain dengan sang adik, Keeva. Mereka menggoda Paz, si bungsu. Taqi yang baru pulang dari berlatih sepak bola langsung bergabung dengan ummi-daddy serta adik-adiknya. ‘Seru sih, kami menerima ini sebagai sesuatu yang harus dijalani. Di sekolah, anak-anak jadi lebih toleran, saling menolong,’ paparnya. (nor/c15/dos)

Bagaimana Jika…..
Tanya jawab dengan Dra Soerjantini Rahaju MA,
psikolog bidang Marital Counseling Universitas Surabaya.

Q: Bagaimana tantangan blended family bagi keluarga muda dengan anak yang masih kecil dan keluarga senior dengan anak yang sudah dewasa? Manakah yang lebih menantang dan mengapa? (Ratih,
Jakarta)

A: Pada dasarnya, semakin muda usia anak, akan semakin mudah. Usia balita hingga awal sekolah dasar umumnya lebih cepat beradaptasi dan belum membentuk identitas keluarga. Masa remaja adalah masa yang paling sulit karena anak mulai memunculkan egonya. Pada masa dewasa awal akan kembali mudah karena pemikiran anak lebih mandiri. Jika merasa tidak cocok, mereka bisa mengatasi perasaannya sendiri. Misalnya, menyewa rumah sendiri.

Q: Bagaimana memberi pemahaman dan menyatukan anak-anak, terlebih yang telah tersakiti secara tidak sengaja oleh perpisahan orang tua sebelumnya? (Siska, Surabaya)

A: Pendekatan di awal harus perlahan. Jika anak terlihat tidak senang, jangan dianggap mereka menolak. Anak-anak butuh waktu untuk menerima. Selama itu berlangsung, jangan usik zona nyamannya seperti harus berbagi kamar, kendaraan, dan lain-lain.

Q: Bagaimana metode terbaik untuk menjadikan anak-anak merasa utuh sebagai satu keluarga dan berjuang untuk meraih sukses bersama-sama? (Vimala, Surabaya)

A: Biarkan proses adaptasi berjalan natural, meski berlangsung dalam waktu yang lama. Setiap orang tua harus mengenali karakter anak dan meramalkan konflik yang mungkin muncul untuk mengantisipasi. Anak cenderung suka membanding-bandingkan keluarga lama dengan keluarga barunya. Buatlah kenangan-kenangan baru. Misalnya, liburan bersama dan semacamnya.

Anak Sulung Semua

SEBAGIAN masyarakat ada yang memandang keluarga campuran (blended family) sebagai fenomena yang ‘tidak lazim’. Tidak jarang pula yang berkomentar negatif. Liza menanggapinya dengan santai. Dia tidak ingin merasa tertekan dengan pendapat orang lain.

‘Yang harus dipahami, belum tentu karena kawin-cerai, seperti yang saya alami, suami kedua meninggal,’ tutur psikolog dan hipnoterapis yang berpraktik di Sanatorium Dharmawangsa itu.

Salah satu cara Liza, agar tidak ter penga ruh komentar yang membuat minder, dia banyak bercanda. Contohnya, ketika orang mengomentari jumlah anak Liza yang cukup banyak. ‘Anak saya empat, tapi sulung semua,’ ujarnya. Dia menyebut urutan anak sesuai dengan usia mereka.

Taqi, si sulung, kini berusia 13 tahun dan putra keduanya Raffi, 6 tahun. Kemudian, Keeva 2 tahun, dan Paz, 3 bulan.

Selain semua anak merupakan anak sulung, serunya blended family adalah ketika merencanakan waktu liburan. Harus menyesuaikan dengan jadwal
seluruh anggota keluarga dan memberi tahu orang tua si anak. ‘Saya koordinasi dengan Abi-nya Taqi. Mesti tanya dulu ke ibunya Raffi. Belum lagi kalau kakek-nenek mereka kangen. Jadi, checklist-nya banyak sebelum berangkat,’ ucap Liza.

Yang juga berperan besar, Liza memiliki supporting system yang kuat. ‘Saya punya sahabat-sahabat yang kapan pun saya telepon atau WhatsApp mereka terima. Ada orang tua saya yang menemani. Tentunya, bagi tugas dengan suami,’ tutur perempuan yang suka bereksperimen dengan model rambut tersebut. (nor/c15/dos)

Sumber: Jawa Pos, 28 Maret 2015