Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah Kurang Inovatif dan Tak Tepat Sasaran fadjar March 25, 2015

Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah Kurang Inovatif dan Tak Tepat Sasaran

Nilai Tukar | BI Semestinya Segera Menaikkan Kembali BI Rate

JAKARTA ndash; Sejumlah kalangan menilai enam paket kebijakan ekonomi yang baru dirlis pemerintah kurang inovatif dan dalam diragukan efektivitasnya dalam jangka pendek.

Pasalnya, paket kebijakan yang bertujuan meredam gejolak kurs rupiah dan memperbaiki defisit transaksi berjalan itu hanya mengulang kebijakan pemerintahan lama yang terbukti tidak berjalan sesuai harapan. Selain itu, paket kebijakan tersebut juga dinilai tidak tepat sasaran dan sulit untuk segera diimplementasikan.

Demikian rangkuman pendapat beberapa pengamat ekonomi yang dihubungi secara terpisah, Senin (16/3). Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Ahmad Zafrullah, menilai paket kebijakan ekonomi pemerintah untuk mengatasi gejolak nilai tukar rupiah lebih bersifat jangka panjang. “Padahal yang kita butuhkan adalah aksi dalam jangka tiga bulan ini, untuk memperkuat rupiah, paling tidak kembali ke level12 ribu rupiah per dollar AS,’ ujar Ahmad.

Selain meredam depresiasi rupiah, lanjut dia, hal penting lain yang perlu dilakukan adalah memperbaiki defisit transaksi berjalan yang mencapai 1,6 juta dolar AS. ‘Non migas kita memang surplus, tapi migasnya defisit, dan kalau dijumlahkan kita masih defisit 1,6 juta dollar AS. Cara memperbaikinya adalah menekan impor migas supaya transaksi berjalan kita surplus agar cadangan devisa bertambah,’ kata Ahmad.

Hal senada dikemukakan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Telisa Falianty.“Untuk saat ini, yang dibutuhkan adalah kebijakan langsung yang mengena pada sasaran dari tujuan kebijakan tersebut, yakni pelemahan rupiah dan harus sifatnya jangka pendek. Sejauh ini yang justru mendominasi adalah kebijakan dari pemerintah dan bukan berupa kebijakan moneter seperti yang dibutuhkan saat ini dari Bank Sentral Indonesia (BI),” jelas Telisa.

Menurut dia, perlu kejelasan kebijakan BI, termasuk menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate meskipun harus mengorbankan sektor riil. “Dari BI sendiri rencana ke depannya belum kelihatan. Langkah dari BI juga penting, seperti menaikkan BI Rate sekitar 25-50 basis poin dari level 7,5 persen saat ini, pendalaman pasar valuta asing, diversifikasi rupiah dengan meminimalkan transaksi menggunakan dollar AS di dalam negeri, hal-hal tersebut yang sampai saat ini belum terlihat,” jelas Telisa.

Seperti dikabarkan, pemerintah telah menyelesaikan rangkaian kajian paket kebijakan ekonomi guna memperbaiki defisit transaksi berjalan. Kebijakan tersebut telah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku awal April 2015 atau setelah 30 hari paska diteken.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Sofyan Djalil, mengungkapkan kebijakan yang dikeluarkan iti merupakan lanjutan dari reformasi struktural yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi, seperti reformasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), program Pelayanan Terpadu Satu Pintu hingga pengendalian inflasi.

Adapun enam kebijakan ekonomi pemerintah itu adalah, pertama, insentif tax allowance untuk perusahaan yang menginvestasikan dividen di Indonesia, menciptakan lapangan kerja yang besar, serta perusahaan berorientasi ekspor. ‘Setelah itu, pemerintah juga memberlakukan insentif PPN (pajak pertambahan nilai) untuk industri galangan kapal,’ tambah Sofyan.

Kedua, kebijakan tentang bea masuk anti dumping sementara dan bea masuk tindak pengamanan sementara terhadap produk impor yang unfair trade. Hal itu bertujuan melindungi industri dalam negeri.

Ketiga, pemerintah memberikan bebas visa kunjungan singkat kepada wisatawan. Keempat, kewajiban pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) sebanyak 15 persen untuk Solar. Kelima, kewajiban menggunakan letter of credit (L/C) untuk produk-produk sumber daya alam. Keenam, pembentukan perusahaan reasuransi domestik.

Devisa Ekspor

Ahmad menambahkan pemerintah dan otoritas moneter masih perlu menambah beberapa langkah dalam paket kebijakan. Misalnya, aturan tegas dan sanksi untuk para eksportir. “Misalnya kalau menerima keuntungan dalam mata uang asing tidak boleh disimpan di Singapura atau Hongkong, harus di dalam negeri. Jika melanggar harus diberi sanksi,” jelasnya.

Ia juga sepakat dengan Telisa bahwa BI harus berusaha menarik investor melalui kenaikan BI Rate. “Bukan sebaliknya. Contohnya Brasil malah menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin dari 11,25 ke 11,75 dan terbukti pemulihan berjalan lebih cepat, serta menghambat orang agar tidak banyak berwisata ke luar negeri, agar uangnya tidak lari ke luar,’ jelas Ahmad.

Ekonom Universitas Padjajaran, Bandung, Ina Primiana, menilai kebijakan pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau tax allowance sulit untuk segera mengundang kembali investor karena persoalannya bukan cuma keuntungan tapi terkait dengan kenyamanan. SB/ers/nsf/ins/WP

Sumber: https://www.koran-jakarta.com