Kumara Sadana Putra, Dosen Ubaya yang Berjuang lewat Mural fadjar January 8, 2015

Kumara Sadana Putra, Dosen Ubaya yang Berjuang lewat Mural

Gambar di Dinding Mampu Dobrak Kebijakan

Mural bukanlah tulisan biasa. Selain kata-kata dan gambar yang bernilai seni, mural sanggup menjadi sarana pencetus aspirasi. Kumara punya buktinya.

NANDA PUTU DERMAWANTI

HAWA dingin Taiwan pada awal Desember tidak mengerutkan energi berapi-api Kumara Sadana Putra. Dosen Universitas Surabaya itu mengisi undangan workshop di Tainan, Taiwan, pada Senin hingga Jumat (1ndash;5/12). Kumara mempresentasikan karyanya tentang mural dalam forum 2014 th International Conference of Culture Creativity (ICCC). Judul penelitiannya ialah Mural Baksil as An Effort to Counter Environmental Vandalism Issue and Commercial Utilization of Green Open Space Called ”Babakan Siliwangi” (Baksil) in Bandung, Indonesia.

Dalam forum itu, terkumpul 59 karya terbaik dari 13 negara. Yaitu, Belanda, Italia, Finlandia, Portugal, Amerika Serikat, Swaziland, Mongolia, Jepang, RRC, Singapura, Taiwan, dan Indonesia. Ceritanya berawal sejak Kumara masih menjadi mahasiswa ITB pada 2003. Lelaki kelahiran 15 April 1983 itu berkuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. ‘Saat itu saya dan teman-teman membuat mural sepanjang 483 meter,’ tuturnya.

Dia membuat mural Babakan Siliwangi (Baksil) bersama 300 orang. Mural dibuat di 18 titik daerah Bandung dengan tema Bandung Past, Present, and Future. ‘Inspirasi mural ini berasal dari perjalanan Kota Bandung,’ paparnya.

Tulisan sepanjang ratusan meter tersebut merekam sejarah Kota Bandung dari masa lalu hingga sekarang. Mural itu dikerjakan sekitar tiga pekan, setiap Sabtu dan Minggu. Salah satu isinya berupa protes terhadap vandalisme di lingkungan di Babakan Siliwangi untuk kepentingan komersial.

Hasil kerja keras yang berupa lukisan dinding sepanjang 483 meter tersebut tercatat sebagai mural terpanjang di Indonesia oleh Museum Rekor Indonesia (Muri). Mural menginspirasi dunia. Baksil pun lantas dijadikan sebagai World Urban Forest oleh PBB pada 2011 dan diresmikan Wakil Presiden RI (saat itu) Boediono. Efek lain, Pemkot Bandung akhirnya memutus kontrak perusahaan swasta yang mengelola kawasan komersial Baksil pada Desember 2013. ‘Ini bukti bahwa mural bisa memberi dampak pada kebijakan,’ ungkapnya.

Dia juga mempunyai karya-karya lain. Yakni, membuat mural di daerah kampung Tambak Bayan yang bersengketa dengan seorang pengusaha pada 2011. Sudah 27 rumah yang digusur. Dia melukis mural tersebut bersama komunitas Orange House Studio demi menyelamatkan Kampung Bayan. Dia ingin menyuarakan protes para warga yang telah digusur dari kampung nya. ‘Kami merespons penggusuran kampung Tambak Bayan dengan mural,’ ucapnya.

Melalui seni mural itu, dia mengangkat berbagai budaya Tionghoa. Sebab, di Tambak Bayan memang banyak keturunan Tionghoa. Dia ingin menyampaikan bahwa Tambak Bayan memiliki banyak potensi yang unik. Salah satunya, budaya etnis Tionghoa yang kaya filosofi dan ajaran luhur serta seni yang etnik. (*/c20/roz)

Sumber: Jawa Pos, 30 Desember 2014